IMPLEMENTASI TEORI BELAJAR CONNECTIVISM DENGAN PEMENFAATAN E-LEARNING DALAM PROSES PEMBELAJARAN SAINS MANDIRI



IMPLEMENTASI TEORI BELAJAR CONNECTIVISM
DENGAN PEMENFAATAN E-LEARNING
DALAM PROSES PEMBELAJARAN SAINS MANDIRI

Oleh:
I Putu Arya Suryawan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan merupakan alat pencetak sumber daya manusia yang unggul, untuk itu di sekolah disajikan berbagai jenis materi yang dapat mengembangkan daya kognitif siswa untuk mencari jati diri yang sebenarnya. Pengembangan pendidikan di sekolah dilakukan oleh guru dengan manajemen sekolah yang mengarahkan peserta didik dalam pembentukan karakter yang sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional. Dalam rangka pembaruan sistem pendidikan nasional telah ditetapkan visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan produktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah (Rusman, 2016:2).
Terkait dengan visi tersebut telah ditetapkan serangkaian prinsip penyelenggaraan pendidikan untuk dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan. Salah satu prinsip tersebut adalah pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik berlangsung sepanjang hayat. Dalam proses tersebut diperlukan guru yang memberikan keteladanan, membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kretivitas peserta didik. Implikasi dari prinsip ini adalah pergeseran paradigma proses pendidikan, yaitu dari paradigm pengajaran ke paradigm pembelajaran. Pembelajaran berarti upaya membelajarkan siswa (Degeng, 1989), yaitu  proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Sesuai dengan amanat Peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional Pendidikan, salah satu standar yang harus dikembangkan adalah standar proses. Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Standar proses berisi kriteria minimal proses pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar proses ini berlaku untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah pada jalur formal, baik pada sistem paket maupun pada sistem kredit semester. Standar proses meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
Belajar merupakan proses perkembangan kearah yang lebih sempurna. Perkembangan tersebut analog dengan perkembangan tumbuhan. Batang tumbuhan akan tumbuh secara sempurna jika tidak ada tumbuhan lain yang menghalangi pertumbuhannya, namun jika ada tumbuhan lain yang menghalangi pertumbuhan tumbuhan tersebut, maka pertumbuhan batang menjadi tidak sempurna. Tumbuhan yang tumbuh akan menuju kearah sumber cahaya, dan tumbuhan akan mengarahkan batangnya untuk menuju sumber cahaya yaitu matahari (Santyasa, 2017:2). Begitu juga dengan proses pendidikan seorang anak, sebaiknya berkembang sesuai dengan proses dan usianya, namun sebagian besar orang tua menginginkan kognitif anaknya untuk segera tumbuh tanpa memperhatikan usianya, keinginan yang seperti itu menjadi faktor penghalang bagi anak untuk mencapai pertumbuhan kognitif yang optimal dan alamiah.
Setiap individu akan berbeda dalam cara mereka belajar (proses) dan berbeda pula mengenai apa yang dipelajari (hasil). (Santyasa, 2017). Pandangan terhadap sebuah proses pembelajaran anak menjadi perhatian para pakar pendidikan. Dalam perspektif empiris menekankan bagaimana proses pembelajaran yang menekankan pada pengalaman yang dialami oleh pebelajar, sedangkan dari perspektif rasionalis menekankan proses pembelajaran ditekankan pada proses berfikir seorang pebelajar. Kedua perspektif tersebut merujuk kepada bagaimana seorang pebelajar dapat melakukan konstruksi pada dirinya sendiri sehingga maksud dari pengetahuan yang diajarkan dapat diterima.
Paradigma pendidikan zaman sekarang telah mengalami banyak perubahan seiring dengan perkembangan zaman yang menuju kearah digital, untuk itu terjadi evolusi juga terhadap teori-teori belajar. Ketiga teori belajar sebelumnya yaitu behaviorisme, kognitifisme, dan konstruktivisme belum terkena dampak perkembangan teknologi (Siemens, 2005). Siemens (2005) juga menjelaskan bahwa peran teknologi cukup besar dalam menunjang kehidupan, komunikasi dan belajar. Perkembangan teknologi juga mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat, sehingga teknologi menjadi sebuah kebutuhan pokok manusia dalam kehidupan. Vail (dalam Siemens, 2005) menekankan bahwa belajar sebagai jalan untuk membentuk karakter dan sikap individu atau kelompok dengan tingat kebutuhan yang sama. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa perkembangan teknologi menuntut adanya perubahan dalam sistem pembelajaran sehingga sesuai dengan perkembangan zaman.
Perkembangan pendidikan juga dibarengi dengan perubahan sistem pembelajaran. Setting kooperatif merupakan sarana yang digunakan untuk mempermudah capaian pembelajaran interaktif. (Mustain, 2016) Adanya tuntutan terhadap siswa untuk lebih aktif dalam mengembangkan pengetahuan yang telah didapatkan disekolah dengan mencari informasi yang relevan melalui media internet sehingga pengetahuan siswa menjadi lengkap. Implikasi keaktifan siswa terwujud perilaku-perilaku seperti mencari sumber-sumber informasi yang dibutuhkan, menganalisa hasil dan mengetahui implikasinya. (Mustain, 2016) Peranan guru dalam pembelajaran ini hanyalah sebagai fasilitator yang menghantarkan siswa untuk belajar secara mandiri dalam membentuk pengetahuannya. Kebebasan siswa dalam berkreatifitas melalui dunia teknologi dan informasi diberikan seluas mungkin dalam lingkungan belajar mandiri.
Keaktifan siswa dalam pembelajaran sangat menunjang proses pembelajaran khususnya dalam pembelajaran sains. Menurut Youl (dalam Kumara, 2004) persaingan sains dimasa depan sebenarnya tidak dilihat dari berapa besar penguasaan sains di suatu Negara, tetapi justru terlihat dalam usaha mempersiapkan anak-anak dalam melak sains sejak awal. Dalam era digital banyak tersimpan media pembelajaran yang mempermudah pemahaman siswa terhadap sains, seperti struktur atom dapat dibuat 3 dimensi dengan animasi yang dikemas dalam bentuk video, siswa tinggal mengakss sebuah tautan situs tertentu agar dapat menonton serta memahami maksud dari materi yang disajikan di sekolah.
Rumithi (2016) dalam penelitiannya juga mengemukakan bahwa pembelajaran sains dalam bidang biologi melalui penemuan konsep kurang melibatkan peran aktif siswa, karena proses pembelajaran biologi kurang memberdayakan siswa. proses pembelajaran cenderung konvensional dengan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab. Guru masih menggunakan model pembelajaran konvensional sebagai satu-satunya model pembelajaran khususnya dalam pelajaran biologi (sains). Model yang biasa digunakan cenderung ceramah yang bersifat satu arah dimana siswa dituntut menghafal tanpa adanya proses berfikir dan mengembangkan materi yang disajikan oleh guru. Hal yang sama juga menjadi permasalahan dalam penelitian Basman, Arifin dan Muris, (2016) dimana siswa pada jenjang sekolah menengah mengalami kesulitan belajar akibat kurangnya pengembangan materi ajar yang dilakukan oleh guru, siswa cenderung menerima apa yang disampaikan oleh guru tanpa adanya proses berfikir dan pengembangan.
Seiring perkembangan teknologi permasalahan dalam pembelajaran dapat diatasi dengan metode pembelajaran menggunakan e-learning. Dalam hal ini, mengacu pada pemanfaatan berbagai piranti elektronik (utamanya computer) sebagai media pembelajaran. Dari hasil sintesis beberapa literature, Capraris (2000), Horison & Bregen (2000) (dalam Warpala, 2012) mengistilahkan dengan on-line learning. Kedua istilah ini memiliki penekanan yang sama pada fungsinya sebagai penyedia informasi atau bahan-bahan yang diperlukan dalam proses pembelajaran. Tetapi dalam hal fungsinga sebagai penyampaian isi pembelajaran kepada siswa memiliki sedikit perbedaan. Pada e-learning pembelajaran dirangsang/dimotori oleh guru (teacher-student driven), dan didominasi oleh siswa (student-driven). Sedangkan pada on-line learning, proses pembelajaran hanya dimotori oleh siswa (student-driven). Dalam hal yang kedua ini, aktivitas belajar menempatkan siswa dalam posisi sentral dan pengambil keputusan dalam memecahkan masalah.
Dengan penggunaan e-learning dan on-line learning siswa diarahkan untuk belajar secara mandiri. Menurut Kirkman (2007) pembelajaran mandiri adalah adalah proses di mana siswa dilibatkan dalam mengidentifikasi apa yang perlu untuk dipelajari dan menjadi pemegang kendali dalam menemukan dan mengorganisir jawaban. Hal ini berbeda dengan belajar sendiri di mana guru masih boleh menyediakan dan mengorganisir material pendidikan, tetapi siswa belajar sendiri atau berkelompok tanpa kehadiran guru. Pembelajaran mandiri dalam penguasaan kompetensi sains dapat melatih siswa untuk bertanggung jawab menemukan dan memecahkan setiap materi yang diterimanya. Siswa dapat mencarinya sendiri pada media online atau bersama teman dan kelompoknya sebagai motivasi dalam pembelajaran.
Munculnya teori belajar connectivism sebagai paradigma baru dalam pembelajaran dapat melatih siswa dalam melakukan pembelajaran mandiri menggunakan teknologi yang ada. Siemens (2005) menyatakan bahwa connectivism merupakan sebuah paradigm pembelajaran baru yang memungkinkan siswa terhubung kepada pengembangan kemampuan berfikir yang benar dengan sumber yang tepat. Untuk itu dalam makalah ini disajikan implementasi teori belajar connectivism dengan pemanfaatan e-learning dalam proses pembelajaran sains mandiri.

1.2  Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang diatas, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana implementasi teori belajar connectivism?
2.      Bagaimana pemanfaatan e-learning dalam proses pembelajaran?
3.      Bagaimana proses pembelajaran sains mandiri?

1.3  Tujuan
Berdasarkan pada rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.      Menjelaskan bagaimana implementasi teori belajar connectivism?
2.      Menjelaskan bagaimana pemanfaatan e-learning dalam proses pembelajaran?
3.      Menjelaskan bagaimana proses pembelajaran sains mandiri?

1.4  Manfaat
Adapun manfaat yang dapat dipetik melalui pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1)      Manfaat Teoretis
a)      Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengambil kebijakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan dunia pendidikan.
b)      Sebagai pengembangan dan rangkuman ilmu yang menjadi sumbangan bagi ilmu pengetahuan, dan khususnya bagi pendidikan, untuk memperkaya studi tentang teori belajar connectivism.
c)      Sebagai khasanah pengetahuan bagi pembaca dan bahan referensi bagi disiplin ilmu yang terkait.

2)      Manfaat praktis
a)      Dapat menjadi acuan bagi guru-guru dalam memahami pendidikan dan pembelajaran.
b)      Manfaat lain dalam pembuatan makalah ini adalah memberikan pengetahuan kepada mahasiswa jurusan teknologi pembelajaran mengenai implementasi teori belajar connectivism dengan pemanfaatan e-learning dalam proses pembelajaran sains mandiri.
c)      Bagi masyarakat umum agar memahami implementasi teori belajar connectivism dengan pemanfaatan e-learning dalam proses pembelajaran sains mandiri.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Implementasi Teori Belajar Connectivism
Teori belajar connectivism yang dikemukakan oleh Goerge Siemens merupakan sebuah paradigm baru dalam dunia pendidikan. Munculnya teori belajar connectivism sebagai akibat perkembangan zaman dengan semakin pesatnya pertumbuhan teknologi digital. Bagi Negara berkembang dengan perangkat teknologi yang canggih dapat digunakan sebagai media pembelajaran yang berorientasi untuk memudahkan siswa dalam belajar. Proses pembelajaran dalam era digital hendaknya lebih menyesuaikan dengan ketersediaan perangkat teknologi yang ada. Munculnya teori belajar connectivism menambah serangkaian teori belajar yang berkembang seiring dengan perkembangan zaman yaitu teori behaviorism, kognitivism, konstruktivism dan kini muncul teori belajar connectivism.
Keseluruhan teori belajar tersebut tidak serta merta dapat digunakan begitu saja dalam pembelajaran. Penggunaan teori belajar lebih disesuaikan dengan kondisi karakteristik siswa sebagai pebelajar. Karakter  adalah  sebuah pola,  baik pikiran, sikap,  maupun  tindakan  yang  melekat pada  diri  seseorang  dengan  sangat  kuat dan  sulit  dihilangkan. (Munir, 2010:3) Dari definisi karakter tersebut maka seorang guru hendaknya dapat menentukan teori belajar yang sesuai dengan karakter yang dimiliki oleh siswa. Damayanti  (2014:12) memberikan pengertian pendidikan karakter adalah gerakan  nasional menciptakan  sekolah  yang membina  etika,  bertanggung  jawab  dan merawat orang-orang muda dengan pemodelan  dan mengajarkan  karakter  baik melalui  penekanan  pada universal,  nilai-nilai yang kita semua yakini. Pendidikan karakter  adalah  pendidikan  budi  pekerti  plus, yaitu melibatkan  aspek  pengetahuan  (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action) tanpa ketiga aspek ini, pendidikan karakter tidak akan efektif.
Dengan pemahaman karakter siswa tersebut tujuan pembelajaran yang sesuai dengan indicator pencapaian dapat terpenuhi. Teori belajar sebagai landasan pijak untuk pencapaian tujuan pendidikan, sedangkan proses pembelajaran sebagai penentu dari tingkat pencapaian yang akan diraih oleh masing-masing siswa. teori belajar connectivism sebagai kooperatif learning juga diharapkan dapat memenuhi tingkat pencapaian siswa dalam belajar. Pencapaian hasil belajar menurut teori connectivism sangat tergantung oleh kemampuan perangkat pembelajaran dalam memanfaatkan ketersediaan media pembelajaran digital. Guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran hendaknya lebih dahulu menguasai teknologi digital dibandingkan siswanya. Dan siswa sebagai pebelajar juga dapat menggunakan teknologi digital dengan baik.
Jika seluruh perangkat pembelajaran dapat memanfaatkan teknologi digital maka proses pembelajaran akan lebih mudah dan menyenangkan. Guru tidak lagi menjelaskan materi hingga final kepada siswanya. Dan siswa dapat mengembangkan sendiri materi yang disampaikan oleh guru dengan memanfaatkan informasi digital yang tersedia. Meski siswa lebih aktif dalam mengembangkan materi pelajaran, peran guru sebagai control juga diutamakan, agar informasi yang didapatkan oleh siswa melalui media digital sesuai dengan batasan materi yang sesuai dengan kurikulum.
Implementasi teori belajar connectivism juga terlihat dalam sistem pembelajaran jarak jauh. Ketersediaan media digital dalam kondisi pembelajaran jarak jauh sangat memadai, seperti video call, live streaming dan sebagainya. Media digital dapat sebagai pusat sumber belajar yang utama bagi sistem pembelajaran jarak jauh. Hakikat dari pusat sumber belajar adalah terpusat kepada peserta didik. Dalam rangka mengembangkan kepribadiannya dan untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran tertentu diperlukan lingkungan belajar tertentu pula, misalnya interaksi belajar dalam kelompok kecil, belajar mandiri, belajar bebas dan sebagainya. Jadi, pusat sumber belajar merupakan wahana yang memberikan fasilitas dan kemudahan pada proses pembelajaran, di mana berbagai jenis sumber belajar dikembangkan, dikelola, dan dimanfaatkan untuk membantu meningkatkan efektivitas dan efesiensi kegiatan pembelajaran.
Belajar  jarak  jauh  bukanlah  suatu  hal yang baru dalam dunia pendidikan mengingat cara belajar ini sudah dikembangkan sejak tahun 1970-an. Bila dianalisis secara gamblang saja maka dapat dikatakan  belajar  jarak  jauh merupakan suatu bentuk system pembelajaran  yang  proses  pembelajarannya jauh dari pusat penyelenggaraan pendidikan dan bersifat mandiri. Pendidikan jarak jauh adalah suatu model pembelajaran yang membebaskan pebelajar untuk dapat belajar tanpa terikat oleh ruang dan waktu dengan sedikit mungkin bantuan dari orang lain.
Komunikasi yang berlangsung pada system pembelajaran ini bersifat komunikasi tidak langsung, artinya proses pembelajaran dilakukan dengan perantaraan dalam bentuk media cetak maupun multimedia yang dirancang khusus. Kalaupun ada kontak langsung, bukanlah suatu proses proses pembelajaran, namun suatu kegiatan tutorial untuk menyakinkan bahwa materi pembelajaran yang disampaikan kepada pebelajar melalui media benar-benar mencapai tujuan pembelajaran sebagaimana yang telah dirumuskan.
Menurut HarinaYuhetty (2002) ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pendidikan jarak jauh antara lain:
1.      Dapat dipercepatnya usaha memenuhi kebutuhan masyarakat dan pasaran kerja.
2.      Dapat menarik minat calon peserta yang banyak.
3.      Tidak tergangggunya kegiatan kehidupan sehari-hari karena pola jadwal pembelajaran yang luwes.
4.      Harapan akan meningkatnya kerjasama dan dukungan pengguna lulusan atau keluaran.
Hakekat pendidikan merupakan suatu proses pembentukan kepribadian dan peningkatan kemampuan melalui berbagai kegiatan pengembangan dan pembelajaran. Adapun hakekat pendidikan sistem belajar jarak jauh ini adalah (Hamzah, 2007).
1.      Pendidikan sepanjang hayat
Salah satu bentuk hak azasi manusia adalah bahwa setiap manusia mulai dari kandungan hingga liang lahat berhak untuk memperoleh yang diperlukannya untuk pertumbuhan dan perkembangan dirinya sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
2.      Pemberdayaan Pelajar/ Warga Belajar
Sistem pendidikan ini juga memperhatikan kepentingan pebelajarnya, kondisi, dan karakteristik mereka. Dengan cara menyelenggarakan berbagai pola pilihan pembelajaran, sumber belajar dan strategi dan pengelolaannya. Hal ini sesuai dengan tuntutan dari kebutuhan pendidikan formal, hanya saja peserta diberi kebebasan untuk menentukan yang terbaik bagi dirinya, sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan dengan lancar.
Kondisi dan karakterisik peserta didik adalah keadaan pribadi dan lingkungan yang menunjukkan kemampuan, hambatan, dan peluang yang berbeda-beda.Kondisi seperti ini tidak seharusnya dijadikan alasan untuk tidak memberikan kesempatan belajar bagi pebelajar.
3.      Pemberdayaan Lembaga Pendidikan
Pelaksanaan proses pembelajaran, sistem pendidikan ini perlu diselanggarakan oleh lembaga pendidikan yang khusus dirancang untuk keperluan itu. Bentuk-bentuk lembaga pendidikan yang dikhususkan saat ini sudah terdapat Universitas Terbuka, Sekolah Dasar PAMONG, dan SLTP terbuka.Tujuan dari adanya lembaga pendidikan ini adalah untuk memusatkan kegiatan yang bersangkut paut dengan pelaksanaan pendidikan ini.Hal ini dinamakan pelayanan operasional yang dilakukan secara memusat, mencakup registrasi, penyediaan bahan pelajaran, bantuan belajar (tutorial), dan ujian yang paling sederhana yang dilakukan melalui komunikasi pos.
Untuk pembuatan program ini dititikberatkan pada prinsip-prinsip pendidikan jarak jauh, diantaranya adalah sebagai berikut (Sadiman, 1999).
1.      Prinsip Kemandirian
Prinsip ini diwujudkan dengan adanya kurikulum yang memungkinkan dapat dipelajari secara independent learning, pebelajar dihadapkan pada pilihan yang terbaik bagi dirinya sendiri, dari mulai pembentukan kelompok belajar, program pendidikan yang digunakan, pola belajar yang disukai, mengunakan sumber belajar yang tepat sesuai dengan kebutuhan. Penyelesaian program yang ditentukan sendiri oleh pebelajar.Bahan-bahan pelajaran yang disediakan berupa paket-paket yang dapat dipilih oleh pebelajar, yang didukung oleh pembimbing atau tutorial dan ujian yang dirancang dengan pendekatan belajar tuntas.Pebelajar belajar dengan mandiri dengan sesedikit mungkin melakukan pertemuan dengan tutor yang bersangkutan.
2.      Prinsip Keluwesan
Prinsip ini diwujudkan dengan dimungkinkannya peserta didik untuk memulai, mencari sumber belajar, mengatur jadwal dan kegiatan belajar, mengikuti ujian dan mengakhiri pendidikannya di luar ketentuan waktu dan tahun ajaran.Dikatakan luwes, pebelajar dimungkinkan untuk berpindah dari pendidikan formal ke pendidikan non-formal atau sebaliknya dari pendidikan non-formal ke pendidikan formal.
3.      Prinsip Keterkinian
Prinsip ini diwujudkan dengan tersedianya program pembelajaran yang pada saat ini diperlukan (just-in-time).Hal ini berbeda dengan sistem pendidikan dan pelatihan konvensional yang program atau kurikulumnya termasuk buku-buku yang tersedia, dirancang untuk mengantisipasi keperluan masa mendatang (just-in-case).Kecepatan untuk memperoleh informasi yang baru merupakan suatu peluang untuk dapat bertahan dan berkembang dalam persaingan bebas.
4.      Prinsip Kesesuaian
Prinsip ini terwujud dengan tersedianya sumber belajar yang terkait langsung dengan kebutuhan pribadi maupun tuntutan lapangan kerja atau kemajuan masyarakat. Sumber belajar tersebut bobotnya harus setara dengan kompetensi yang diperlukan, tetapi disajikan dalam bentuk yang sederhana yang dapat dipelajari sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain. Prinsip ini disesuaikan dengan kebutuhan dan latar belakang pebelajar.
5.      Prinsip Mobilitas
Prinsip ini diwujudkan dengan adanya kesempatan bagi pebelajar untuk berpindah lokasi, jenis, jalur dan jenjang pendidikan yang setara setelah memenuhi kompetensi yang diperlukan.
6.      Prinsip Efisiensi
Prinsip ini diwujudkan dengan pendayagunaan berbagai macam sumber daya dan teknologi yang tersedia seoptimal mungkin. Pemberdayaan segala sumber disekeliling pebelajarakan membantu pebelajar untuk dapat menggunakan sumber tersebut sebanyak mungkin, sehingga pebelajar tidak merasa kerepotan mengenai sumber belajarnya.
Sistem pendidikan jarak jauh ini awalnya ikut berkembang ke dalam masyarakat Indonesia yang dimaksudkan sebagai salah satu pemecahan terhadap menjulangnya anak putus sekolah dan anak yang belum sempat merasakan kehidupan pendidikan. (Sudiman, 1999). Penyelenggaraan pendidikan jarak jauh di Indonesia sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Menurut Hartilaar, penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebenarnya sudah lama diterapkan di Indonesia, yaitu sejak masuknya kolonial ke Indonesia.Namun perkembangannya terhenti tanpa diketahui sebabnya. Pada tahun 50-an muncul kembali pendidikan jarak jauh dalam bentuk penataran guru tertulis. Tujuan dari penataran ini adalah meningkatkan kualifikasi guru yang mengajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.Bahan belajar pada penataran ini terbatas hanya pada media cetak, yaitu modul.Untuk umpan balik terhadap peserta, bahan ajar dikirim melalui jasa pos. Pada awal tahun 70-an muncul prakarsa baru dalam penyelenggaraan pendidikan jarak jauh yaitu munculnya penataran guru dengan  berbasis siaran radio. Media utama dalam penataran ini adalah siaran radio yang dilengkapi dengan bahan penyerta cetak yang dikirim kepada peserta.
Perkembangan selanjutnya dalam rangka memajukan pendidikan jarak jauh ini maka dibentuklah pendidikan yang dinamai PAMONG (Pendidikan Anak oleh Masyarakat Orang Tua dan Guru). Kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan prinsip; belajar mandiri dengan menggunakan modul, belajar dengan kelompok sebaya, kompetisi untuk berprestasi, fungsi guru sebagai pengelola kegiatan belajar yang membantu pebelajar dalam memecahkan masalah yang tidak dapat dipecahkannya, menggunakan lingkungan  sebagai sumber belajar, dan meningkatkan partisipasi masyarakat dengan melibatkan masyarakat sebagai narasumber. Dengan dibukanya SLTP Terbuka semakin menambah semaraknya perkembangan pendidikan jarak jauh ini pada tahun 1979.Pada tahun 1984, lembaga pendidikan tinggi mulai membuka diri untuk melayani kebutuhan terhadap pendidikan dengan dibukanya Universitas Terbuka.  Agak berbeda dengan pendidikan terbuka lainnya, pada SLTP Terbuka dan Universitas Terbuka media pembelajarannya yang digunakan lebih beragam.Mulai dari modul, siaran radio, kaset audio video dan siaran televise (Buletin SLTP Terbuka, 2000).
Mulai saat itu berbagai inisiatif dilakukan untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan jarak jauh yang diselenggarakan berbagai lembaga pendidikan.lembaga-lembaga tersebut memanfaatkan sistem belajar jarak jauh untuk meningkatkan sumber daya manusia yang berada dilingkungan mereka masing-masing. Namun karena sumber-sumber yang diperlukan untuk pengembangan program belajar jarak jauh yang baik amat terbatas dan itu pun berserakan diberbagai tempat, inisiatif itu tidak tumbuh dengan sehat. Namun demikian, sejak berlakunya ujian akhir nasional yang standar pencapaiannya menjulang tinggi, timbul kembali fenomena baru dalam dunia pendidikan. Bagi anak-anak yang dinyatakan tidak lulus dalam UAS ataupun UAN maka mereka dapat mengikuti ujian penyetaraan melaui sekolah teruka. Mirisnya sekolah terbuka atau kejar paket ini dijadikan seolah-olah pelarian.Tentunya ini mempengaruhi pamor sekolah terbuka, yang menambah beban seolah-olah ini adalah sekolah pelarian? Namun yang lebih mirisnya lagi masih ada juga perguruan tinggi yang “ragu-ragu” menerima surat tanda tamat belajar dari sekolah terbuka, seolah-olah tidak percaya pada kelegalan surat tersebut.
Namun perkembangan pendidikan yang beragam, seperi adanya “homeschooling” menambah maraknya ragam system belajar jarak jauh yaitu dengan melibatkan internet. Seandainya sekolah system belajar jarak jauh dapat dimaksimalkan fungsinya dan adanya “sharing” pada lembaga-lembaga yang ada, maka dapatlah dibalikkan judul dalam artikel ini bahwa system belajar jarak jauh tetap menjadi pilihan!
Jika Kita lihat prinsip-prinsip di atas, penggunaan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) dapat sangat efektif, khususnya bagi para peserta yang lebih dewasa dan memiliki motivasi kuat untuk mengejar sukses dan senang diberi kepercayaan melakukan proses belajar secara mandiri. Tetapi, kesuksesan Pembelajaran Jarak Jauh yang meninggalkan ketaatan pada jadwal seperti pada proses pembelajaran tatap muka, bukanlah merupakan suatu pilihan yang mudah baik bagi instruktur maupun peserta didik. Maka dari itu PJJ memiliki keterbatasan sekaligus kelebihan. Berikut kelebihan pembelajaran jarak jauh (Rusman, 2011).
a.       Tersedianya fasilitas e-moderating di mana pendidik dan peserta didik dapat berkomunikasi secara mudah melalui fasilitas internet tanpa dibatasi oleh jarak, tempat, waktu.
b.      Peserta didik dapat belajar atau me-review bahan pelajaran setiap saat dan di mana saja kalau diperlukan.
c.       Bila peserta didik memerlukan tambahan informasi yang berkaitan dengan bahan yang dipelajarinya, ia dapat melakukan akses di internet secara mudah.
d.      Baik pendidik maupun peserta didik dapat melakukan diskusi melalui internet yang dapat diikuti dengan jumlah peserta yang banyak, sehingga menambah ilmu pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.
e.       Peserta didik dapat benar-benar menjadi titik pusat kegiatan belajar-mengajar karena ia senantiasa mengacu kepada pembelajaran mandiri untuk pengembangan diri pribadi (Hamalik, 1994).
Walaupun demikian, pembelajaran jarak jauh juga tidak terlepas dari berbagai kelemahan atau kekurangan, antara lain (Rusman, 2011).
a.       Kurangnya interaksi antara pendidik dan peserta didik atau bahkan antarsesama peserta didik itu sendiri. Kurangnya interaksi ini bisa memperlambat terbentuknya values dalam proses pembelajaran.
b.      Kecenderungan mengabaikan aspek akademik atau aspek sosial dan sebaliknya mendorong tumbuhnya aspek bisnis/komersial.
c.        Masalah ketepatan dan kecepatan pengiriman modul dari puast pengelolaan pembelajaran jarak jauh kepada para peserta di daerah sering tidak tepat waktu, dank arenanya dapat menghambat kegiatan pembelajaran (Hamalik, 1994).
d.      Peserta didik yang tidak mempunyai motivasi belajar yang tinggi cenderung gagal.
e.       Dukungan administratif untuk proses pembelajaran jarak jauh dibutuhkan untuk melayani jumlah peserta didik yang mungkin sangat
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang dimaksud dengan Pendidikan Jarak Jauh (PPJ) adalah pendidikan yang pesertanya didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lainnya. Soekartawi (2003) memberikan karakteristik yang lebih spesifik dari PJJ yaitu sebagai berikut:
1.      Kegiatan belajar terpisah dengan kegiatan pembelajaran.
2.      Selama proses belajar siswa selaku peserta didik dan guru selaku pendidik terpisahkan oleh tempat, jarak geografis dan waktu atau kombinasi dari ketiganya.
3.      Siswa dan guru terpisah selama pembelajaran, komunikasi diantara keduanya dibantu dengan media pembelajaran, baik media cetak (bahan ajar berupa modul) maupun media elektronik (CD-ROM, VCD, telepon, radio, video, televisi, komputer). 
4.      Jasa pelayanan disediakan baik untuk siswa maupun untuk guru, misalnya resource learning center atau pusat sumber belajar, bahan ajar, infrastruktur pembelajaran). Dengan demikian, baik siswa maupun guru tidak harus mengusahakan sendiri keperluan dalam proses pembelajaran. 
5.      Komunikasi antara siswa dan guru bisa dilakukan baik melalui satu arah maupun dua arah (two ways communication). Contoh komunikasi dua arah ini, misalnya tele-conferencing, video-conferencing, e-moderating). 
6.      Proses pembelajaran di PJJ masih dimungkinkan dengan melakukan pertemuan tatap muka (tutorial) dan ini bukan merupakan suatu keharusan..  
7.      Selama kegiatan belajar, siswa cenderung membentuk kelompok belajar, walaupun sifatnya tidak tetap dan tidak wajib. Kegiatan berkelompok diperlukan untuk memudahkan siswa belajar. 
8.      Peran guru lebih bersifat sebagai fasilitator dan siswa bertindak sebagai participant.

2.2 Pemanfaatan E-learning dalam Proses Pembelajaran
E-learning atau elektrononik learning adalah sebuah metode pembelajaran yang keseluruhan prosesnya menggunakan elektronik. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (2016), elektronik berarti segala alat yang menggunakan prinsip elektronika/listrik. Jenis elektronik yang dimaksud adalah sebuah alat yang dapat digunakan untuk mengakses dan menerbitkan sebuah informasi berupa tulisan, gambar, suara, maupun video. Dalam keseharian kita banyak ditemukan alat elektronik yang dapat menunjang e-learning, seperti computer, handphone, gadget, dan sebagainya. Alat tersebut dapat memberikan kemudahan bagi siswa untuk mengetahui segala jenis informasi terkait pengetahuan yang terhubung kedalam jaringan internet.
Pembelajaran merupakan suatu proses penyampaian pengetahuan, yang dilaksanakan dengan menuangkan pengetahuan kepada siswa (Khusniati, 2012). Dengan demikian pembelajaran merupakan sebuah proses dalam pendidikan agar konsep yang disampaikan oleh guru dapat diterima siswa. Degeng (1989) juga mengungkapkan bahwa pembelajaran berarti upaya membelajarkan siswa, yaitu  proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Proses pembelajaran untuk setiap mata pelajaran harus fleksibel, bervariasi, dan memenuhi standar Undang-undang Sistem pendidikan nasional. Proses pembelajaran untuk setiap satuan pendidikan dasar dan menengah harus interaktif, inspiratif dan menyenangkan, menantang dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik, serta psikologi peserta didik.
Untuk menjawab segala tantangan pendidikan tersebut maka dibentuklah sebuah metode pengajaran yang bergantengan dengan kemajuan teknologi yaitu e-learning. Mengacu pada posisi atau peran guru dan siswa dalam proses pembelajaran menggunakan e-learning ada dua jenis model desain pembelajaran yang akan ditawarkan. Model desain ini juga didasarkan pada kajian teoretik dan empirik (de Caprariis, 2000; Gabringer, 1996; Harrison & Bergen, 2000; Javid, 2000; Jonassen, 1999; Savoie & Hughes, 1994) (dalam Warpala, 2012) yang berlandaskan pada desain lingkungan belajar konstruktivistik, yang didukung oleh pemodelan (modelling), pelatihan, (coaching), dan perancahan (scaffolding).
Menurut Warpala (2012) ada dua model desain pembelajaran tersebut adalah (1) model semi rekursif dan (2) model rekursif.
1.      Model semi rekursif
Model desain pembelajaran ini memadukan antara desain pembelajaran konvensional (tradisional) dengan pemanfaatan piranti elektronik sebagai media pembelajaran. Dalam hal ini kita bisa membandingkan kelebihan dan kelemahan berbagai tipe media yang digunakan (misal: internet, electronic text book, data base, dan CD-R, atau media elektronik lainnya). Media elektronik yang digunakan bisa berupa informasi mengenai konten materi ajar dan/atau berupa aktivitas-aktivitas, seperti kuis (pertanyaan) dan tugas-tugas yang harus diselesaikan atau disempurnakan melalui internalisasi pengetahuan. Harapannya, dari kuis dan tugas-tugas tersebut menghasilkan keterampilan yang terintegrasi.
Model desain e-learning yang semi rekursif memiliki sifat-sifat (1) aktivitas yang terpisah; (2) perencanaan yang berperspektif tunggal, dengan sedikit mempertimbangkan pentingnya konteks dan konstruksi sosial; (3) perumusan tujuan berdasarkan analisis konten materi; dan (4) penetapan desain pesan berdasarkan rentangan kondisi rata-rata di mana sistem itu akan berfungsi. Berdasarkan sifat-sifat model desain tersebut di atas, maka implementasi e- learning dapat dilakukan (disarankan) melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: (1) Apersepsi; (2) Penjelasan konsep dan/atau Demonstrasi, (3) Eksplorasi; (4) Refleksi; dan (5) Evaluasi.
Apersepsi menyangkut di dalamnya aktivitas-aktivitas yang mengarah kepada terjadinya brain storming. Aktivitas belajar yang diharapkan dari tahapan in adalah meningkatkan perhatian dan menumbuhkan kesadaran terhadap masalah yang akan dipelajari, menstimulasi keingintahuan dan keinginan, melihat informasi-informasi yang relevan atau mengkonfrontasikan sesuatu yang ambigius. Penjelasan konsep dan/atau demonstrasi menyangkut aktivitas guru menjelaskan ringkasan materi atau masalah yang akan dipelajari siswa. Jika diperlukan guru juga bisa melakukan demonstrasi. Peran guru pada tahapan ini juga diharapkan memotivasi terjadinya aktivitas belajar yang diarahkan untuk mengembangkan teknik-teknik pemrosesan informasi yang kreatif. Pada tahapan ini, peran guru sangat mendominasi proses pembelajaran.
Eksplorasi menyangkut kegiatan mengumpulkan data atau informasi dari berbagai jenis media, seperti CD-R, electronic data base, internet, dan media on-line lainnya. Aktivitas belajar yang juga termasuk tahapan ini adalah mengeksplorasi fenomena- fenomena yang berhubungan dengan apa yang dipelajari. Dalam fase ini siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil sehingga terjadi diskusi dan berbagi pengetahuan atau keterampilan, yang sangat penting dalm proses belajar. Jadi, proses pembelajaran dalam tahapan ini didominasi oleh siswa. Refleksi menyangkut aktivitas belajar berupa mengorganisasikan informasi- informasi yang telah diperoleh, berbagi ide, melakukan analisis, dan “mempertahankan” hasil yang diperoleh melalui kegiatan analisis dan sintesis. Dengan demikian akan terjadi konstruksi dan internaslisasi pengetahuan atau keterampilan yang diharapkan dari proses pembelajaran. Evaluasi menyangkut kegiatan mengukur atau menilai unjuk kerja siswa melalui beberapa jenis asesmen yang sesuai (misalnya performance assessment).
2.      Model Rekursif
Model desain pembelajaran ini sepenuhnya berpedoman pada teori belajar konstruktivistik. Selama proses pembelajaran, siswa menempati posisi sentral dan sebagai pengambil keputusan dalam memecahkan masalah yang dipelajarinya. Oleh karenanya, dalam mendesain e-learning yang rekursif, konten tidak bisa ditetapkan terlebih dahulu dalam proses desain. Akan tetapi, domain sentral atau inti dari pengetahuan (core knowledge) tersebut lah yang ditentukan. Artinya, pebelajar dirangsang untuk mencari domain pengetahuan atau informasi lainnya yang relevan dengan isu-isu yang ada. Jadi, pebelajar mampu membawa perspektif baru dan data baru mengenai isu-isu sehingga pebelajar terangsang untuk mencari pandangan-pandangan baru dan selalu mempertimbangkan sumber-sumber data alternatif terhadap domain konten pembelajaran.
Model desian ini memiliki sifat-sifat sebagai berikut (1) aktivitas yang terintegrasi; (2) perencanaan yang menggunakan perspektif majemuk, dengan mempertimbangkan pentingnya konteks dan konstruksi sosial; (3) perumusan tujuan berdasarkan pengetahuan dan/atau keterampilan awal pebelajar, (jika memungkinkan) dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata pebelajar; (5) penggunaan desain pesan dengan berbagai variasi pilihan dan sebagai bagian integral dari proses; (6) sistem yang terbuka, yang memungkinkan terjadinya refleksi dan partisipasi pengguna; (7) penyediaan negosiasi sosial sebagai bagian integral dari disain material; (8) penggunaan mental models sebagai dasar desain pembelajaran, yang dapat menjembatani dunia pengetahuan, dunia belajar, dan dunia kerja.
Dengan karakteristik desain e-learning seperti di atas, maka untuk implementasinya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1) media-mediated learning dan (2) on-line course. Untuk cara yang pertama, tindak pembelajaran dimediasi dengan berbagai jenis media elektronik (berbasis komputer). Sedangkan dengan cara kedua, segala aktivitas belajar, proses dan konten pembelajaran sepenuhnya on-line. Dalam hal ini kita memerlukan bantuan seorang ahli web site. Dalam tindak pembelajaran, kedua cara tersebut dapat dilakukan melalui tahapan- tahapan pembelajaran sebagai berikut: (1) apersepsi (brain storming), (2) eksplorasi, (3) refleksi, (4) aplikasi, dan (5) evaluasi. Akankah kita mampu mendesain atau melakukan tindak pembelajaran seperti itu? Mari kita bersama-sama merenungkan masalah ini. Kajian terhadap teori-teori belajar yang berbasis konstruktivistik dan perkembangan teknologi informasi komunikasi selalu akan menjadi perhatian kita dalam menyikapi masalah ini. Segenap komponen yang terlibat dalam pembelajaran harus selalu menggali dan menggali bagaiman e-learning bisa didesain untuk mendukung proses belajar dan pembelajaran pada semua jenjang pendidikan.

2.3 Proses Pembelajaran Sains Mandiri
Sains adalah salah satu mata pelajaran yang diajarkan sejak usia dini. Dalam pendidikan di Indonesia sains lebih dikenal dengan Ilmu Pengetahuan Alam. Dalam jenjang sekolah dasar pendidikan IPA masih bersifat umum, namun pada jenjang yang lebih tinggi sains digolongkan menjadi tiga mata pelajaran yaitu biologi, fisika dan kimia. Pendidikan sains diajarkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk lebih memahami tentang alam sekitar. (Kumara, 2004)
Sudah diketahui bersama bahwa, IPA adalah ilmu mengkaji fenomena alam yang ada di sekitar kita. Kajian IPA mencakup tiga aspek, yaitu IPA sebagai produk, proses dan sikap ilmiah. Bagaimana tumbuhan berkembang biak? Ada apa di dalam atom? Bagaimana susunan tata surya? Bagaimana cara ikan paus berenang? Bagaimana terjadinya fosil? Bagaimana tanaman di dasar laut berfotosintesis? Pertanyaan-pertanyaan tersebut baru sekelumit pertanyaan yang telah terjawab oleh ilmuwan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan contoh dari tiga pertanyaan dasar dalam IPA, yaitu: What is there, How does it work? How did it come to be this way? Untuk menjawab bagaimana tumbuhan dapat melakukan perkembangbiakan? Ada apa di dalam atom? Manusia tidak mungkin masuk ke dalam atom, kalau begitu bagaimana caranya manusia tahu bahwa di dalam atom ada elektron dan inti atom? Bagaimana manusia tahu ada 8 planet dalam tata surya? Bagaimana manusia tahu tentang umur fosil? Bagaimana manusia tahu karakter ikan paus? Dan bagaimana tumbuhan yang di dasar laut dapat memperoleh sinar matahari? Konsep-konsep, prinsip-prinsip, hukum-hukum dan teori-teori dalam IPA merupakan produk dari serangkaian aktivitas manusia yang dikenal dengan penyelidikan ilmiah (Scientific Inquiry). “The scientific process as observation, measurement, experimentation, and the other operation included in the scientific method” (Sund & Trowbridge, 1973). Orang yang berkecimpung di dalam IPA akan mendapatkan sikap ilmiah seperti jujur, cermat, berpikir kritis, rasa ingin tahu, menghormati pendapat orang lain, dan sebagainya.
Proses untuk menghasilkan pengetahuan sangat bergantung pada pengamatan teliti terhadap suatu fenomena, dan teori yang mendasari pengamatan, yang pada gilirannya akan memberi peluang munculnya teori baru yang dapat menggugurkan teori lama atau diperoleh teori yang lebih memperkuat teori yang sudah ada, dengan perkataan lain “hukum-hukum dan teori dalam IPA bukan suatu kebenaran mutlak dan sempurna”. Teori yang menyatakan matahari sebagai pusat tata surya (Heliosentris) berhasil menggugurkan teori lama yang menyatakan bumi sebagai pusat tata surya (Geosentris), sebaliknya teori relativitas yang dikemukakan oleh Einstein tidak mengesampingkan hukum gerak Newton.
Hakikat IPA adalah IPA sebagai produk, dan IPA sebagai proses. Secara definisi, IPA sebagai produk adalah hasil temuan-temuan para ahli saintis, berupa fakta, konsep, prinsip dan teori-teori. Fakta dalam IPA adalah pernyataan-pernyataan tentang benda-benda yang benar-benar ada, atau peristiwa yang betul-betul terjadi dan dikonfirmasi secara objektif. Contohnya atom hidrogen mempunyai satu elektron, merkurius adalah planet terdekat dengan matahari. Sedangkan konsep IPA adalah suatu ide yang mempersatukan fakta-fakta. Contohnya semua zat tersusun atas partikel-partikel, materi akan berubah tingkat wujudnya bila menyerap atau melepaskan energi. Prinsip IPA adalah generalisasi tentang hubungan antara konsep-konsep IPA. Contohnya udara yang dipanaskan memuai, adalah prinsip menghubungkan konsep udara, panas, pemuaian. Artinya udara akan memuai jika udara tersebut dipanaskan. Teori IPA adalah kerangka yang lebih luas dari fakta-fakta, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip yang saling berhubungan. Contohnya teori meteorologi membantu para ilmuwan untuk memahami mengapa dan bagaimana kabut dan awan terbentuk.
Sedangkan IPA sebagai proses adalah strategi atau cara yang dilakukan para ahli saintis dalam menemukan berbagai hal tersebut sebagai implikasi adanya temuan-temuan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa alam. Maka dari itu, IPA sebagai produk tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya IPA sebagai proses. Dari sini dapat diketahui kajian IPA sangat luas, dan IPA mempunyai andil dalam memberikan sumbangan pada kemajuan peradaban manusia, khususnya perkembangan teknologi suatu bangsa. Banyak orang yang beranggapan bahwa IPA itu sulit dan membosankan. Selama ini IPA dianggap pelajaran yang sulit dan menakutkan. Para siswa menganggap bahwa IPA hanya untuk orang pintar. Untuk mengubah paradigma tersebut, maka perlu upaya melakukan pembelajaran IPA yang sederhana, mudah dicerna, menarik bagi siswa dan menyenangkan.
Peran siswa yang semula pasif menerima informasi dari gurunya harus diubah menjadi lebih aktif dalam belajarnya. Siswa harus dilibatkan dalam pengelolaan belajarnya di samping melatih kemandirian siswa juga menjadikan siswa itu menjadi lebih bertanggung jawab terhadap belajarnya sendiri. Dalam hal ini perlu diterapkan suatu model pembelajaran yang dapat mendorong siswa agar aktif dan terlibat dalam setiap kegiatan pembelajaran sehingga mampu meningkatkan kemandirian belajar dan prestasi belajar IPA siswa. Model pembelajaran merupakan cara yang digunakan oleh seorang guru untuk menunjang proses belajar siswa dengan pola dan kegiatan bertahap (Trianto, 2007). Salah satu model yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemandirain dan prestasi belajar IPA yaitu penerapan model pembelajaran mandiri.
Model pembelajaran mandiri menyebabkan siswa memiliki inisiatif, dengan atau tanpa bantuan orang lain, untuk menganalisis kebutuhan belajarnya sendiri, merumuskan tujuan belajarnya sendiri, mengidentifikasi sumber-sumber belajar, memilih dan melaksanakan strategi belajar yang sesuai serta mengevaluasi prestasi belajarnya sendiri, Astawan (2010). Pembelajaran mandiri adalah proses di mana siswa dilibatkan dalam mengidentifikasi apa yang perlu untuk dipelajari dan menjadi pemegang kendali dalam menemukan dan mengorganisir jawaban. (Lisna, 2013) Hal ini berbeda dengan belajar sendiri di mana guru masih boleh menyediakan dan mengorganisir material pendidikan, tetapi siswa belajar sendiri atau berkelompok tanpa kehadiran guru (Kirkman, 2007).
Model pembelajaran mandiri lebih menekankan pada keterampilan, proses dan sistem dibandingkan pemenuhan isi dan tes. Melalui penerapan pembelajaran mandiri, siswa diberikan otonomi dalam mengelola belajarnya yang nantinya mengarah pada kemandirian belajar. Kemandirian belajar (self-direction in learning) dapat diartikan sebagai sifat dan sikap serta kemampuan yang dimiliki siswa untuk melakukan kegiatan belajar secara sendirian maupun dengan bantuan orang lain berdasarkan motivasinya sendiri untuk menguasai suatu kompetensi tertentu sehingga dapat digunakannya untuk memecahkan masalah yang dijumpainya di dunia nyata (Sunarto, 2008) (dalam Lisna, 2013). Model pembelajaran mandiri akan memberdayakan siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab mereka sendiri dan guru hanya berperan sebagai fasilitator dalam kegiatan pembelajaran sehingga proses belajar yang dilakukan juga optimal yang berimbas pada peningkatan kemandirian belajar dan prestasi belajar IPA siswa.
Kegiatan pembelajaran dengan model pembelajaran mandiri mampu mengukur beberapa aspek dalam belajar mandiri. Aspek yang diukur dalam kemandirian belajar meliputi pengelolaan diri (self-management), keinginan untuk belajar (desire for learning), dan kontrol diri (self-control). (Lisna, 2013) Pembelajaran mandiri juga akan memungkinkan siswa dalam mengatur proses belajar dalam bentuk inisiatif diri, mandiri, pengaturan diri, eksplorasi diri. Pembelajaran mandiri akan memberikan kebebasan kepada siswa dalam kegiatan belajar untuk mengembangkan kemandirian belajar dan mencapai prestasi belajar IPA yang optimal (Song, L., & Hill, J. R, 2007).
Pelaksanaan kegiatan pembelajaran dalam konteks pembelajaran langsung menekankan guru sebagai konsultan yang memberdayakan kemampuan belajar siswa. Dalam hal ini, guru dituntut lebih efektif dalam kegiatan pembelajaran sehingga mampu menjadikan siswanya sebagai pebelajar yang mandiri. Menurut Nugraheni (2007), karakteristik guru efektif antara lain mengakui dan menghargai keunikan masing-masing siswa dengan cara mengakomodasi pemikiran siswa, gaya belajar, tingkat perkembangan, kemampuan, bakat, persepsi diri, serta kebutuhan akademis dan non akademis siswa. Selanjutnya guru yang efektif akan memulai pembelajaran dengan asumsi dasar bahwa semua siswa bersedia untuk belajar dengan sebaik-baiknya.
Pengimplementasian pembelajaran mandiri yang telah disesuaikan dengan karakteristik ilmu pengetahuan alam menuntut siswa untuk terlibat aktif menggunakan proses sains dan kemampuan berpikir kreatif dan kritis untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang diajukan. (Lisna, 2013) Dengan demikian penerapan model pembelajaran mandiri akan dapat meningkatkan pemahaman dan partisipasi siswa sehingga berujung pada peningkatan kemandirian belajar dan prestasi belajar IPA yang dimiliki siswa. Berdasarkan kajian empiris dan konseptual di atas, peneliti menduga terdapat perbedaan kemandirian dan prestasi belajar IPA siswa antara siswa yang mengikuti pembelajaran model pembelajaran mandiri dengan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa implementasi teori belajar connectivism dengan pemanfaatan e-learning dalam proses pembelajaran sains mandiri adalah sebagai beriku:
1.      Implementasi teori belajar connectivism dalam pembelajaran adalah dengan munculnya perkembangan teknologi digital dalam masyarakat dimungkinkan adanya pembelajaran jarak jauh.
2.      Pembelajaran sains di Indonesia dalam bentuk Ilmu Pengetahuan Alam lebih menekankan kepada active learning dimana siswa dituntut untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri melalui pemberdayaan perangkat teknologi digital.
3.      Dengan adanya perkembangan teknologi digital, siswa dituntut untuk belajar secara mandiri, sedangkan guru bertindak sebagai control pengetahuan agar pengembangan pengetahuan yang dilakukan oleh siswa dari teknologi digital tepat pada sasarannya. Siswa dapat bekerjasama dengan teman sebagai bentuk motivasi dalam pembelajaran mandiri.

3.2 Saran-Saran
Beberapa saran yang dapat dikemukakan terkait dengan isi makalah implementasi teori belajar connectivism dengan pemanfaatan e-learning dalam proses pembelajaran sains mandiri adalah:
1.      Setiap guru harus dapat memahami semua teori belajar termasuk teori belajar connectivism agar guru dapat memposisikan dirinya dengan benar sesuai dengan hakekat pendidikan.
2.      Departemen Pendidikan agar merekrut orang pendidikan yang memahami teknologi pembelajaran dan pedagogic secara mendalam, agar dapat mengarahkan pendidikan dan menyusun sistem pendidikan sesuai dengan hakekatnya.
3.      Bagi para akademisi diharapkan memahami teori belajar connectivism, sains, dan pembelajaran mandiri sebagai sebuah pondasi dalam pengajaran.


DAFTAR PUSTAKA

Astawan, IG. 2010. Model-model pembelajaran inovatif. Singaraja. Universitas Pendidikan Ganesha.
Basman, T., Arifin, A. & Muris, M. 2016. The development of discovery-inquiry learning model to reduce the science misconception of junior high school students. International Journal of Enviromental & Science Education. 11 (12):5676-5686. http://www.journalijar.com/uploads/23_IJAR-9727. Diakses 30 September 2016.
Buletin SLTP Terbuka. 2000. Proyek perluasan dan peningkatan mutu SLTP propinsi Sumatera Barat. edisi 3. Padang.
Damayanti, D. 2014.   Penduan  implementasi pendidikan karakter di sekolah. Yogyakarta. Araska.
Degeng, N.S. 1989. Ilmu pembelajaran : taksonomi variabel. Jakarta. Dirjen Dikti.
Harina, Y. ICT and education in Indonesia. (http://www.pustekkom.go.id/ teknodik/t11/11-1.htm#isi) No.11/VI/Desember/2002
Hamalik. O. 1994. Sistem pembelajaran jarak jauh dan pembinaan ketenagaan. Jakarta.
Hamzah,  B. U. 2007. Teori motivasi dan pengukurannya analisis di bidang pendidikan. Jakarta. Bumi Aksara.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 2016. Luar Jaringan (offline), Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional.
Kirkman, S., Coughlin, K., & Kromrey, J. 2007. Correlates of satisfaction and success in self-directed learning: relationships with school experience, course format, and internet use. International Journal of Self-Directed Learning. 4(1). 39-52. http://www.google.com. Diakses 11 Juni 2017.
Kumara, A. 2004. Model pembelajaran active learning mata pelajaran sains tingkat SD Kota Yogyakarta sebagai upaya peningkatan life skills. Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. 2:63-91. http://www.jurnal.ugm.ac.id. Diakses 11 Juni 2017.
Khusniati, M. 2012. Pendidikan karakter melalui pembelajaran IPA. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia. 1(2):204–210. http://journal.unnes.ac.id/ . Diakses 11 Juni 2017
Lisna, H. NN. 2013. Pengaruh model pembelajaran mandiri terhadap kemandirian belajar dan prestasi belajar IPA siswa kelas VIII SMP N 3 Singaraja. Jurnal Pendidikan Dasar Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. 3. http://www.scholar.google.co.id. Diakses 11 Juni 2017.
Munir,  A.  2010.  Pendidian  karakter membangun  karakter  anak  sejak  dari rumah. Yogyakarta:  Bintang Pustaka Abadi.
Mustain. 2016. Model pembelajaran connectivism untuk meningkatkan pemecahan masalah keterampilan belajar siswa di MTs Nurul Jadid Kota Mojokerto. Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam. 6(2):123-132. http://www.scholar.google.co.id. Diakses 11 Juni 2017.
Nugraheni, E. 2007. Student centered learning dan implikasinya terhadap proses pembelajaran. Jurnal Pendidikan Universitas Syiah Kuola. http://www.uilis.unsyiah.ac.id. Diakses 17 Juni 2017.
Rumithi, M. 2016. Pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing dan motivasi berprestasi terhadap prestasi belajar biologi siswa kelas X SMA Negeri 1 Rendang. Tesis. Program Studi Teknologi Pembelajaran Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha.
Rusman. 2016. Model model pembelajaran mengembangkan profesionalisme guru. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
Sadiman, A. S. 1999. Jaringan sistem belajar jarak jauh Indonesia, Pusat teknologi komunikasi dan informasi pendidikan. Jakarta. Depdiknas.
Santyasa, IW. 2017. Pembelajaran inovatif. Singaraja. Undiksha Press.
Siemens, G. 2005. Connectivism: A learning theory of digital age. International Journal of Instructional Technology and Distance learning. 1(1):1-9. http://www.itdl.org/. Diakses 11 Juni 2017.
Soekartawi. 2003. E-learning di Indonesia dan prospeknya di masa mendatang, Makalah pada seminar nasional ‘E-Learning Perlu E-Library’ di Universitas Kristen Petra. Surabaya.
Song, L., Hill, J. R. 2007. A conceptual model for understanding self-directed learning in online environments. Journal of Interactive Online Learning. 6(1). 27-42. http://www.ncolr.org. Diakses 17 Juni 2017
Sund, R. B., & Trowbridge, L. 1973. Teaching science by inquiry in the schondary school. Ohio. Charles E Merril Publishing Co.
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta : Prestasi Pustaka.
Warpala, IW. S. 2012. Mendesain model pembelajaran dengan menggunakan e-learning: suatu kajian teoretik. Jurnal nasional Pendidikan Teknik Informatika (Janapati) Universitas Pendidikan Ganesha. 1(3):182-190. http://www.sholar.google.co.id. Diakses 11 Juni 2017









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rangkuman jurnal: Pengaruh model pembelajaran inquiry training dan motivasi terhadap hasil belajar fisika siswa

Dahlia, M. P., Sondang, R. M. 2016. Pengaruh model pembelajaran inquiry training dan motivasi terhadap hasil belajar fisika siswa...