PENGETAHUAN AWAL, MISKONSEPSI, DAN SUMBER-SUMBER MISKONSEPSI



PENGETAHUAN AWAL, MISKONSEPSI,
DAN SUMBER-SUMBER MISKONSEPSI
 

oleh:
I Putu Arya Suryawan
aryasuryawan.putu@gmail.com
 
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan merupakan alat pencetak sumber daya manusia yang unggul, untuk itu di sekolah disajikan berbagai jenis materi yang dapat mengembangkan daya kognitif siswa untuk mencari jati diri yang sebenarnya. Pengembangan pendidikan di sekolah dilakukan oleh guru dengan manajemen sekolah yang mengarahkan peserta didik dalam pembentukan karakter yang sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional. Dalam rangka pembaruan sistem pendidikan nasional telah ditetapkan visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan produktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah (Rusman, 2016:2).
Terkait dengan visi tersebut telah ditetapkan serangkaian prinsip penyelenggaraan pendidikan untuk dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan. Salah satu prinsip tersebut adalah pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik berlangsung sepanjang hayat. Dalam proses tersebut diperlukan guru yang memberikan keteladanan, membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kretivitas peserta didik. Implikasi dari prinsip ini adalah pergeseran paradigma proses pendidikan, yaitu dari paradigm pengajaran ke paradigm pembelajaran. Pembelajaran berarti upaya membelajarkan siswa (Degeng, 1989), yaitu  proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Sesuai dengan amanat Peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional Pendidikan, salah satu standar yang harus dikembangkan adalah standar proses. Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Standar proses berisi kriteria minimal proses pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar proses ini berlaku untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah pada jalur formal, baik pada sistem paket maupun pada sistem kredit semester. Standar proses meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
Belajar merupakan proses perkembangan kearah yang lebih sempurna. Perkembangan tersebut analog dengan perkembangan tumbuhan. Batang tumbuhan akan tumbuh secara sempurna jika tidak ada tumbuhan lain yang menghalangi pertumbuhannya, namun jika ada tumbuhan lain yang menghalangi pertumbuhan tumbuhan tersebut, maka pertumbuhan batang menjadi tidak sempurna. Tumbuhan yang tumbuh akan menuju kearah sumber cahaya, dan tumbuhan akan mengarahkan batangnya untuk menuju sumber cahaya yaitu matahari (Santyasa, 2017:2). Begitu juga dengan proses pendidikan seorang anak, sebaiknya berkembang sesuai dengan proses dan usianya, namun sebagian besar orang tua menginginkan kognitif anaknya untuk segera tumbuh tanpa memperhatikan usianya, keinginan yang seperti itu menjadi faktor penghalang bagi anak untuk mencapai pertumbuhan kognitif yang optimal dan alamiah.
Setiap individu akan berbeda dalam cara mereka belajar (proses) dan berbeda pula mengenai apa yang dipelajari (hasil). (Santyasa, 2017). Pandangan terhadap sebuah proses pembelajaran anak menjadi perhatian para pakar pendidikan. Dalam perspektif empiris menekankan bagaimana proses pembelajaran yang menekankan pada pengalaman yang dialami oleh pebelajar, sedangkan dari perspektif rasionalis menekankan proses pembelajaran ditekankan pada proses berfikir seorang pebelajar. Kedua perspektif tersebut merujuk kepada bagaimana seorang pebelajar dapat melakukan konstruksi pada dirinya sendiri sehingga maksud dari pengetahuan yang diajarkan dapat diterima.
Paradigma pendidikan zaman sekarang banyak sekali kita melihat sekolah-sekolah dengan mutu pendidikan yang sangat rendah. Penilaian tersebut terlihat dari pencapaian prestasi belajar yang diraih oleh siswa pada suatu sekolah. Siswa yang dapat meraih nilai yang baik dalam ujian nasional secara tidak langsung akan mengangkat nama baik sekolah tempat mereka belajar. Sekolah dengan hasil UN terbaik akan menjadi favorit di masyarakat, dan masyarakat berbondong-bondong untuk menyekolahkan anak mereka pada sekolah tersebut. disisi lain ada juga sekolah yang belum mencapai pencapaian yang maksimal pada nilai UN siswa, hal tersebut karena kurang maksimalnya sistem pendidikan yang diterapkan pada sekolah tersebut. Menurut Kadim Masykur di Simarmata (2008), konsep kesalahan dalam bidang Ilmu telah terjadi di mana-mana dan terjadi pada tingkat pendidikan yang rendah untuk pendidikan tinggi. Rendahnya pemahaman siswa dalam memahami suatu pelajaran ditunjukkan oleh prestasi belajar siswa yang tidak sesuai dengan harapan.
Penggunaan metode ceramah dengan instrument pembelajaran berupa buku dan LKS dirasa kurang memberi pemahaman bagi siswa, siswa cenderung mengalami kesalahpahaman terhadap materi yang diajarkan oleh guru. Sebuah konsep yang berbeda disebut sebagai kesalahpahaman atau konsep palsu (Suparno, 2005). Penggunaan metode ceramah dalam pelajaran yang termasuk kedalam aliran behavioristik atau aliran tradisional, dalam era modern ini dipandang kurang efektif, untuk itu perlu adanya sebuah konstruksi pengetahuan yang lebih baik. Perkembangan aliran konstruktivistik dalam pembelajaran dirasa lebih evektif, karena dalam pembelajaran konstruktivistik siswa cenderung lebih santai dan termotivasi dalam pembelajaran. Dalam Nur dan Yusuf (2016:69), dijelaskan beberapa teori belajar konstruktivistik dijelaskan oleh Galserfeld, Bettencourt (1989) dan Matthews (1994), mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan hasil konstruksi (bentukan) orang itu sendiri, sementara Piaget (1971), mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalamannya. Proses pembentukan berjalan terus menerus dan setiapkali terjadi rekontruksi karena adanya pemahaman yang baru. Maka siswa yang belajar dengan teori pembelajaran konstruktivistik lebih mudah memahami pelajaran dibandingkan siswa yang belajar dengan menggunakan teori pembelajaran behavieristik atau tradisional.
Terjadinya miskonsepsi pada siswa dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya yaitu kurangnya penguasaan konsep dasar sebagai sebuah pengetahuan awal. Kemampuan siswa dalam menangkap sebuah pengetahuan awal saat masih pada usis dini tergantung juga dari cara guru memperkenalkan sebuah pengetahuan awal tersebut, untuk itu guru sekolah usia dini harus lebih memperhatikan cara penanaman sebuah konsep awal kepada siswa agar tidak menjadi sebuah bibit miskonsepsi ketika siswa tersebut menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Konsepsi adalah representasi mental mengenai cirri-ciri dunia luar atau domain-domain teoretik. (Santyasa, 2017). Konsepsi merupakan perwujudan dari interpretasi seseorang terhadap suatu obyek yang diamatinya yang sering bahkan selalu muncul sebelum pembelajaran, sehingga sering diistilahkan konsepsi pra pembelajaran (preinstruction conception).
Menurut perspektif science dan matematika, istilah miskonsepsi tidak hanya menempatkan kesalahan konsepsi yang dibentuk oleh pebelajar selama pembelajaran sebelumnya, tetapi juga kesalahan yang berkaitan dengan prakonsepsi pada umumnya, sehingga miskonsepsi sering memakai istilah kerangka kerja alternative (alternative framework). Sebutan kerangka kerja alternative didasari oleh alasan bahwa prakonsepsi yang dimiliki oleh prapebelajar dipandang sebagai konsepsi yang benar menurut mereka sendiri yang mungkin berhasil mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan sering dibawa dan dipertahankan dalam pebelajaran materi baru. (Santyasa, 2017). Pada hakekatnya, konsepsi prapembelajaran yaitu struktur kognitif yang telah ada dikepala pebelajar dan bersifat resistant (bertahan), sehingga siswa yang mengalami miskonsepsi sulit mengubahnya (fruitful), sedangkan miskonsepsi yang bersifat dissatisfaction atau dapat dirubah terjadi pada siswa yang fikirannya tidak seimbang (disequilibrium of mind). Untuk itu, dalam makalah ini akan disajikan beberapa teori mengenai pengetahuan awal, miskonsepsi, dan sumber-sumber miskonsepsi, agar dapat dipahami bersama untuk kemajuan pendidikan di Indonesia.

1.2  Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang diatas, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa sumber-sumber prakonsepsi dan miskonsepsi?.
2.      Bagaimana perspektif teoretik dan temuan-temuan penelitian?.
3.      Bagaimana konsepsi di luar isi mata pelajaran dan pola-pola misunderstanding?.
4.      Bagaimanakah orientasi-orientasi pembelajaran dan disain pembelajaran baru?
5.      Apa itu pembelajaran konstruktivistik?.

1.3  Tujuan
Berdasarkan pada rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.      Menjelaskan apa sumber-sumber prakonsepsi dan miskonsepsi?.
2.      Menjelaskan bagaimana perspektif teoretik dan temuan-temuan penelitian?.
3.      Menjelaskan bagaimana konsepsi di luar isi mata pelajaran dan pola-pola misunderstanding?.
4.      Menjelaskan bagaimana orientasi-orientasi pembelajaran dan disain pembelajaran baru?
5.      Menjelaskan apa itu pembelajaran konstruktivistik?.

1.4  Manfaat
Adapun manfaat yang dapat dipetik melalui pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1)      Manfaat Teoretis
a)      Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengambil kebijakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan dunia pendidikan.
b)      Sebagai pengembangan dan rangkuman ilmu yang menjadi sumbangan bagi ilmu pengetahuan, dan khususnya bagi pendidikan, untuk memperkaya studi tentang pengetahuan awal, miskonsepsi, dan sumber-sumber miskonsepsi.
c)      Sebagai khasanah pengetahuan bagi pembaca dan bahan referensi bagi disiplin ilmu yang terkait.


2)      Manfaat praktis
a)      Dapat menjadi acuan bagi guru-guru dalam memahami pendidikan dan pembelajaran.
b)      Manfaat lain dalam pembuatan makalah ini adalah memberikan pengetahuan kepada mahasiswa jurusan teknologi pembelajaran mengenai pengetahuan awal, miskonsepsi, dan sumber-sumber miskonsepsi.
c)      Bagi masyarakat umum agar memahami pengaruh pengetahuan awal, miskonsepsi, dan sumber-sumber miskonsepsi terhadap pendidikan siswa.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sumber-Sumber Prakonsepsi dan Miskonsepsi
Wartono, dkk (2004:10) mengemukakan konsep adalah gagasan atau abtraksi yang dibentuk untuk menyederhanakan lingkungan. Sedangkan Euwe van den Berg (1991:8) mengemukakan konsep merupakan abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi antara manusia dan yang memungkinkan manusia berfikir. Konsep dibentuk dengan menggolongkan hasil-hasil pengamatan dalam suatu kategori tertentu. Konsep disebut abstraksi karena konsep menyatakan proses penggambaran pada berbagai pengalaman aktual. Konsep tersusun sebagai penggambaran mental atas pengalaman yang teramati. Konsep tidak hanya diperoleh dengan hanya pengamatan seperti melihat, mendengar atau merasa. Berbagai pengamatan harus dilakukan untuk mendapatkan kategori-kategori dan berdasar kategori inilah konsep dapat dibentuk. Kemampuan untuk membuat kesimpulan, kategori dan pola dalam bentuk konsep-konsep sangat penting untuk menyimpan berbagai informasi yang diterima. Jika manusia tidak mampu membentuk konsep maka akan banyak sekali hal-hal yang manusia harus ingat.
Setiap konsep tidak berdiri sendiri, melainkan setiap konsep berhubungan dengan konsep-konsep yang lain. Semua konsep bersama membentuk jaringan pengetahuan dalam otak manusia. Semakin lengkap, terpadu, tepat dan kuat hubungan antara konsep-konsep dalam otak seseorang, semakin pandai orang itu. Keahlian seseorang dalam suatu bidang studi tergantung lengkapnya jaringan konsep di dalam otaknya. Berdasarkan hal tersebut, maka konsep pada manusia terbentuk pada saat manusia mulai mampu untuk melakukan pengamatan terhadap lingkungan, kemudian memberikan tanggapan mental berupa informasi yang tersimpan dalam pemikirannya. Dengan demikian seorang anak sebelum mengikuti proses pendidikan dasar maka telah ada konsep-konsep terhadap lingkungannya. Konsep-konsep awal yang dimiliki oleh siswa sebelum pembelajaran disebut prakonsepsi. Prakonsepsi dipengaruhi oleh pengalaman langsung, pengalaman berpikir, pengalaman fisik dan emosional melalui proses-proses sosial. Prakonsepsi yang dibawa oleh anak ke kelas tidaklah sama. Ada prakonsepsi anak yang memang sudah sesuai dengan kebenaran sains, tetapi ada juga yang tidak sesuai dengan kebenaran sains yang diajarkan di sekolah. Bagi anak yang sudah mempunyai prakonsepsi yang sudah sesuai dengan kebenaran sains yang diajarkan di kelas, maka dia akan merasa mudah menerima pelajaran tersebut tetapi jika sebaliknya maka dia akan kesulitan belajar.
Dalam hal ini bantuan guru sangat diperlukan untuk mengarahkan prakonsepsi siswa tersebut. Konsep-konsep awal yang tidak sesuai dengan kebenaran sains ini disebut miskonsepsi. Konsep awal tersebut didapatkan oleh peserta didik saat berada di sekolah dasar, sekolah menengah, dari pengalaman dan pengamatan mereka di masyarakat atau dalam kehidupan sehari-hari. Tidak jarang bahwa konsep siswa, meskipun tidak cocok dengan konsep ilmiah, dapat bertahan lama dan sulit diperbaiki atau diubah selama pendidikan formal. Menurut Suparno (2005:3) hal tersebut disebabkan oleh konsep yang siswa miliki, meskipun keliru, tetapi dapat menjelaskan beberapa persoalan yang sedang mereka hadapi dalam kehidupan mereka. Bahkan beberapa anak menggunakan konsep ganda dalam hal ini, yaitu konsep ilmiah digunakan di sekolah dan konsep sehari-hari untuk digunakan di masyarakat. Hal ini membuat para ahli baik pendidik maupun peneliti terlibat dalam membahas bagaimana terjadinya miskonsepsi, bagaimana miskonsepsi dapat diatasi dan kesulitan apa dalam mengatasinya.
Miskonsepsi atau salah konsep (Suparno, 2005:4) menunjuk pada suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu. Begitu juga dengan Wartono (2004:25) mendefinisikan miskonsepsi adalah pemahaman alternatif yang tidak benar secara ilmiah. Miskonsepsi ini diyakini oleh siswa dan dijadikannya dasar untuk merespon masalah yang muncul. Dengan demikian miskonsepsi adalah ketidaksesuaian konsep yang dimiliki oleh siswa dengan konsep para ahli.
Menurut Santyasa (2017), prakonsepsi dapat bersumber dari beberapa hal sebagai berikut:
1.      Pemakaian bahasa
Bahasa dikatakan sebagai sumber prakonsepsi pertama, karena bahasa melibatkan nilai rasa yang sering mengandung banyak penafsiran. Ada kalanya konten yang dikemas oleh bahasa telah kadaluarsa ditinjau dari sudut pandang modern yang akhirnya menyebabkan miskonsepsi. Sebagai contoh kalimat matahari terbit menggiring suatu kesan matahari tersebut berpisah dari langit. Persepsi ini sungguh bertentangan dengan pandangan ilmiah bahwa bumi yang beredar mengelilingi matahari. Tetapi karena orang mengamati matahari tinggal bersama bumi, maka matahari yang dipersepsi bergerak.
2.      Interaksi dengan lingkungan
Sumber prakonsepsi yang kedua, berasal dari hasil interaksi dengan lingkungan yang meliputi anggota keluarga, teman dewasa lain, dan kelompok sebaya. Interaksi yang telah ditunjukkan tersebut membangkitkan bentuk-bentuk khusus everyday science atau everyday mathematics yang secara mutlak kontradiktif terhadap prinsip utama science dan matematika yang benar. Sebagai contoh miskonsepsi yang disebabkan oleh everyday science dapat dilihat persepsi para orangtua yang sering menyarankan pada putra atau putrinya yang sedang demam agar menggunakan baju tebal. Mereka mempersepsikan bahwa semakin tebal bajunya  semakin cepat baju itu mempengaruhi badan menjadi hangat. Contoh miskonsepsi yang disebabkan oleh everyday mathematics, adalah 2 + 5 = 7 atau 5 = 7 - 2. Persepsi yang miskonsepsi pada persamaan terakhir, bahwa angka 2 pada persamaan pertama dipindahkan ke sebelah kanan dan tandanya berubah, sehingga terbentuk persamaan kedua. Persepsi yang juga miskonsepsi, bahwa jika mangkok pertama berisi 2 biji kelereng dan mangkok kedua berisi 5 biji kelereng, maka pada kasus persamaan pertama mangkok pertama yang dituangkan ke mangkok kedua, alasannya karena isinya lebih sedikit. hal ini berarti terjadi miskonsepsi tentang bilangan berjumlah.
3.      Perasaan sendiri
Prakonsepsi yang ketiga berasal dari perasaan sendiri, sebagai akibat pengaruh tindakan fisik dalam kehidupan sehari-hari dapat membentuk perasaan miskonsepsi, misalnya merasakan panas, gerak, gaya, dan pandangan lainnya yang bertentangan dengan pandangan ilmiah. Sebagai contoh, di ruang terbuka, banyak pembelajar mempersepsi kayu lebih panas daripada besi, dan juga dibandingkan dengan kaca, orang yang berada dalam mobil yang sedang bergerak mempersepsi pohon-pohon di pinggir jalan bergerak, benda diam di interpretasi karena pada benda itu tidak ada gaya yang bekerja.
4.      Masmedia (tacit sence)
Sumber yang keempat adalah mass media dalam bentuk tacit knowledge yang berdimensi teknik atau kognitif. Tacid knowledge adalah suatu pengetahuan yang telah dimengerti didalam pikiran, tetapi ketika dikomunikasikan secara tertulis atau secara lisan maknanya berbeda sehingga bisa menimbulkan miskonsepsi. Miskonsepsi juga bisa bersumber dari instruktur berupa tacit sense. Tacit sanse adalah sebagian pengetahuan seolah-olah disembunyikan, sehingga tidak utuh dapat didengar atau dilihat yang berpotensi menimbulkan miskonsepsi. Miskonsepsi sering pula berasal dari desain pembelajaran yang mencoba mereduksi konsep-konsep yang bersifat majemuk menjadi konsep tunggal sebagai contoh konsep kecerdasan bisa di desain hanya kecerdasan bahasa atau kecerdasan matematika. Desain pembelajaran tersebut berpotensi menimbulkan miskonsepsi, bahwa manusia hanya memiliki kecerdasan bahasa atau matematika.
Santyasa (2017) juga menyebutkan, mengenai sumber-sumber miskonsepsi, terdapat tiga alasan utama yang sering muncul dalam proses pembelajaran, yaitu:

1.      Penelitian empiris
Menunjukkan bahwa para pengajar sendiri kadang-kadang miskonsepsi, karena mereka tidak cukup terlatih dan tidak mampu menunjukkan pemahaman dan penguasaan materi mata pelajaran mereka.
2.      Terdapat alasan kurang jelas
Miskonsepsi yang direpresentasikan oleh para pengajar terdapat alasan yang kurang dipahami oleh siswa.
3.      Kejadian yang tidak kentara
Dipandang sebagai kejadian yang tidak kentara hidden koncepsion dibandingkan sumber yang pertama dan yang kedua .

2.2 Perspektif-Perspektif Teoretik dan Temuan-Temuan Penelitian
Penelitian pada kawasan pengetahuan awal, prakonsepsi, dan miskonsepsi telah dilakukan dengan perspektif-perspektif berbeda. Perspektif-perspektif tersebut misalnya berasal dari pendidik matematika, pendidik sains kelompok peneliti sains kognitif yang mengikuti teori teori pemrosesan informasi dan kecerdasan buatan. (Santyasa, 2017). Perspektif-perspektif tersebut mendasarkan diri pada gagasan Piagetian atau Ausubelian. Disamping itu, perspektif-perspektif tersebut sering juga berbasis pada faham fenomenologis atau hermeneutic, misalnya interaksionisme simbolik Bauersfeld, pendekatan fenomenografik Marton, dan pendekatan-pendekatan konstruktivistik seperti alternatifisme konstruktivistik Kelly, dan sebagainya.
Perspektif yang lebih umum berkembang dalam penelitian Penelitian tentang pengetahuan awal, pra konsepsi dan miskonsepsi adalah pandangan konstruktivistik, yang diawali oleh konstruktivistik radikal dari Von Glasersfeld. Menurut pandangan konstruktivistik, belajar bukan dipandang sebagai proses transmisi informasi atau pengisian bejana kosong, tetapi lebih sebagai suatu proses pengkonstruksian secara aktif pada basis konsepsi-konsepsi yang telah ada, yaitu pengetahuan awal, prakonsepsi, dan miskonsepsi. Kemudian, muncul ide konstruktivistik sosial yang telah melengkapi perspektif konstruktivistik radikal dengan menyertakan signifikansi pengkonstruksian aspek sosial dari suatu pengetahuan dalam proses belajar .
Pengetahuan awal dapat berpengaruh langsung dan tak langsung terhadap proses pembelajaran. Secara langsung, pengetahuan awal dapat mempermudah proses pembelajaran dan mengarahkan hasil hasil belajar yang lebih baik. Secara tidak langsung, pengetahuan awal dapat mengoptimalkan kejelasan materi materi pelajaran dan meningkatkan efisiensi penggunaan waktu belajar dan pembelajaran. Penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan awal merupakan suatu variabel yang memiliki kontribusi cukup signifikan terhadap peningkatan skor-skor postest (Dochy, 1996, dalam Santyasa, 2017). Skor-skor post test dapat dijelaskan oleh skor-skor pengetahuan awal sebesar 50%. Hal ini sesuai dengan temuan Bloom, bahwa korelasi antara skor skor posttest dan pretest bergerak dari 0,50 hingga 0,90 (Dochy, 1996, dalam Santyasa, 2017). Pembelajaran dalam kelas yang sesungguhnya yang menggunakan pengetahuan awal sebagai starting point menunjukkan bahwa variasi hasil belajar dapat dijelaskan oleh varian pengetahuan awal sebesar 42%. (Dochy, 1996, dalam Santyasa, 2017)
Pengetahuan awal pada kawasan-kawasan khusus dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar secara signifikan. Korelasi antara pengetahuan awal dan penampilan-penampilan akademik pembelajar adalah signifikan bahwa dengan skor-skor inteligensi. Penelitian telah menunjukkan bahwa pra konsepsi dan miskonsepsi secara signifikan pemandu belajar dalam belajar. Pra konsepsi dan miskonsepsi mempengaruhi usaha para pebelajar merasakan informasi yang dipresentasikan dalam buku teks dan dalam kelas. Banyak prakonsepsi dan miskonsepsi begitu resistant untuk berubah. Perubahan prakonsepsi dan miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah terjadi pada kuantitas yang sangat terbatas, atau hanya sedikit konsepsi baru terbentuk yang dapat diintegrasikan oleh para pembelajar ke dalam pengetahuan yang telah dimiliki.
Konsepsi prapembelajaran bagi para pembelajar bukannya ide-ide “kabur” semata, tetapi konsisten dan sering mengherankan. Penelitian juga telah menunjukkan hasil-hasil perubahan konsepsi yang diperoleh sangat terbatas. Dalam sains, para pebelajar sering tidak berpikir konsepsi di sekolah. Lebih dari itu, dalam kelas-kelas sains para mahasiswa mampu menerapkan konsep hanya jika konteks suatu tugas atau masalah bersifat sederhana dan kebetulan sama dengan konteks yang telah dipelajari. Segera setelah itu, ketika tugas-tugas menjadi sedikit lebih sulit, sebagian besar pembelajar tanpa mendasarkan diri lebih pada intuisi konsepsi sehari-hari mereka dibandingkan dengan hasil berpikir konsepsi ilmiah.
Basman, Arifin dan Muris (2016), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa dalam hal alat pembelajaran yang digunakan di sekolah-sekolah, para peneliti mengamati bahwa perangkat pembelajaran sains yang digunakan dan Lembar Kerja Siswa masih umum dan tidak secara khusus dirancang untuk mengurangi terjadinya kesalah pahaman Science. Pembelajaran sains adalah sebuah domain pada masa eksperimen-eksperimen memainkan peranan utama dalam belajar dan proses pembelajaran. Hal itu sesuai dengan asumsi para pengajar, bahwa para pembelajar akan lebih berhasil jika proses belajar dapat dilakukan melalui pengamatan secara visual. Penelitian menunjukkan bahwa pengamatan para pelajar tersebut sangat dipengaruhi oleh konsepsi-konsepsi pribadi mereka dan sering tidak ada pengamatan yang objektif.
Penelitian pembelajaran Sains dengan metode demonstrasi telah mengungkapkan bahwa metode tersebut tidak terlalu ampuh mengajak para pembelajar meninggalkan konsepsinya yang tidak ilmiah. Dengan kata lain, masih banyak para pebelajar mengalami miskonsepsi, walaupun telah diterapkan metode demonstrasi dalam pembelajaran sains. Di samping itu beberapa penelitian telah menemukan bahwa strategi counter example (contoh tandingan) tidak terlalu meyakinkan bagi para pelajar untuk mengalami perubahan konseptual. Mereka cenderung lebih bertahan pada konsepsi yang paling kaya ini benar walaupun sesungguhnya miskonsepsi.
Penelitian juga dilakukan oleh Wagiran (2007), tentang perubahan miskonsepsi pada mata kuliah matematika teknik, dimana terjadi reduksi miskonsepsi yang sangat signifikan, namun masih juga terdapat siswa yang mengalami miskonsepsi dalam pembelajaran. Dalam penelitian tersebut, terjadinya perubahan miskonsepsi tidak dengan mudah dihilangkan pada diri siswa, dimana pengajar harus menggandeng sebuah model pembelajaran yang khusus, agar dapat membantu reduksi miskonsepsi yang dimiliki oleh pebelajar. Dalam berbagai penelitian banyak dipilih model pembelajaran yang cocok untuk dapat mengatasi miskonsepsi pada pebelajar.

2.3 Konsepsi di Luar Isi Mata Pelajaran dan Pola-Pola Misunderstanding
Prakonsepsi dan miskonsepsi menunjukkan pada item-item khusus isi mata pelajaran. Pandangan konstruktivistik mengarahkan wawasan bahwa konsepsi-konsepsi prapembelajaran menentukan proses dan hasil belajar. Metapengetahuan, yaitu konsepsi alam pengetahuan isi, adalah sebuah isu penting yang masih sering diabaikan. Dalam IPA dan matematika tanpa misunderstanding dari status konsepsi-konsepsi ini. Duit (dalam Santyasa, 2017) menyatakan bahwa kebanyakan para pembelajar dan juga beberapa pengajar adalah realistis naif, mereka memandang pengetahuan ilmiah sebagai sebuah produksi ulang dari alam dan tidak sebagai suatu konstruksi manusia yang bersifat tentatif.
Misunderstanding banyak terjadi antara pengajar dan pebelajar, dimana kurang terbukanya dan transparansi maksud dari pengajar yang disampaikan dalam kelas, pengajar tidak dengan detail mengungkap sebuah pengetahuan, sehingga yang diterima oleh pebelajar memiliki maksud yang berbeda dengan apa yang ingin disampaikan oleh pengajar. Ketidak sepahaman antara pengajar dan pebelajar tersebut yang akan berdampak miskonsepsi pada pebelajar. Untuk itu dalam proses pembelajaran, seorang pengajar perlu memahami ilmu komunikasi yang efektif agar tidak terjadi misunderstanding. Menurut Mc. Crosky Larson dan Knapp mengatakan bahwa komunikasi yang efektif dapat dicapai dengan mengutamakan ketepatan (accuracy) yang sesuai antara komunikator dan komunikan dalam setiap komunikasi. Komunikasi yang lebih efektif terjadi apabila komunikator dan komunikan terdapat persamaan dalam pengertian, sikap dan bahasa. (http://i-purnama.blogspot.co.id/2015/06/contoh-makalah-tentang-misunderstanding.html). Untuk memastikan agar tidak terjadinya misunderstanding, pengajar dapat memastikan bahwa pebelajar memahami apa yang dimaksudkan oleh pengajar dengan memberikan respon balik oleh pertanyaan atau perbuatan.
Konsepsi para pengajar mengenai tujuan-tujuan pembelajaran pada umumnya dan tujuan sebuah peristiwa mengajar pada khususnya sering tidak sesuai dengan konsepsi para pembelajar. Para pengajar sering memiliki pandangan jangka panjang, yang melibatkan suatu kejadian tunggal dalam suatu urutan yang terstrukturisasi dari fenomena-fenomena yang sering berhubungan, sedangkan berapa pebelajar tanpa kurang memiliki sebuah perspektif jangka panjang seperti itu. Sebagai sebuah contoh, sebuah eksperimen mungkin dipandang sebagai sebuah kejadian tunggal yang tidak berkaitan satu sama lain sehingga mungkin akan mengalami kegagalan dalam mengidentifikasi sebuah kerangka kerja yang tepat yang dapat membantu penyelidikannya.
Berdasarkan perspektif konstruktivistik, metakognisi adalah sebuah pisau kunci. Konsepsi proses belajar menentukan bagaimana sesuatu itu dipikirkan dan dipelajari. Para pengajar dan para pelajar sering memandang bahwa belajar dan pembelajaran analog dengan pengisian gejala, hanya sebagian kecil para pengajar dan para pembelajar memiliki pandangan konstruktivistik. Inilah yang diduga sebagai faktor utama terjadinya misunderstanding dalam belajar dan pembelajaran konsep.
Perkins dan Simmons (dalam Santyasa, 2017) melihat bahwa kerangka pemahaman sering bermuara pada miskonsepsi yang sering muncul pada mata pelajaran Fisika, matematika, biologi, bahasa, dan IPS. Mereka mengklaim bahwa kerangka-kerangka yang mereka isolasi tersebut juga valid untuk miskonsepsi pada domain-domain isi yang lain. Perkins dan Simmons membedakan 4 kerangka pemahaman yaitu: (1) kerangka isi, atau aspek-aspek yang biasa mengatribusi isi mata pelajaran, yaitu fakta, definisi, algoritma, pengetahuan metakognitif berorientasi isi, (2) kerangka pemecahan masalah, atau domain spesifik dan strategi strategi pemecahan masalah umum, keyakinan tentang pemecahan masalah, dan proses-proses autoregulasi untuk menjaga organisasi diri sendiri selama pemecahan masalah, (3) kerangka epistemik, atau domain domain spesifik, norma-norma umum dan strategi-strategi yang memperhatikan validasi dan domain, dan (4) kerangka penyelidikan, atau domain spesifik dan keyakinan umum dan strategi-strategi kerja untuk memperluas dan menantang pemahaman dalam domain khusus.
Perkins dan Simmons berargumentasi secara meyakinkan bahwa kesulitan utama belajar untuk pemahaman merupakan hasil pembelajaran tradisional pada kerangka Isi. Sementara banyak perhatian diperuntukkan pada kerangka-kerangka epistemik dan penemuan dalam rangka mengatasi kesulitan tersebut. Mereka juga mengembangkan ide-ide untuk pendekatan-pendekatan baru yang berorientasi pada empat kerangka tersebut.

2.4 Orientasi-Orientasi Pembelajaran dan Desain Pembelajaran Baru
Inovasi dalam pembelajaran sangat penting dilakukan dalam pembelajaran, karena seiring perkembangan zaman dan teknologi pembelajaran dituntut juga mengalami berbagai perubahan sesuai dengan kebutuhan pebelajar. Tingkat perkembangan kognitif siswa menuntut inovasi kea rah orientasi-orientasi pembelajaran yang multi dimensi. Namun berbagai tantangan yang dihadapi diantaranya pengajar yang belum siap mengganti sistem pembelajaran yang sesuai, dan tetap menggunakan sistem pembelajaran yang lama. Konsepsi pembelajaran yang baru dianggap sebagai penghalang proses pembelajaran, dan cenderung pengajar tidak menggunakan konsep yang baru. Pembelajaran yang ilmiah tidak dapat dilaksanakan secara menyeluruh oleh pengajar, hal tersebut diakibatkan kurangnya sumber daya guru yang mumpuni untuk itu.
Berdasarkan hal tersebut, para pebelajar hendaknya belajar, bahwa konsepsi alternatif mereka bisa memiliki beranekaragam interpretasi terhadap situasi sehari-hari, tetapi akan gagal dalam kasus-kasus tertentu ketika konsepsi ilmiah diperlukan. (Santyasa, 2017). Isu-isu mengenai pengetahuan awal, prakonsepsi, dan miskonsepsi yang telah berurat berakar secara kuat hendaknya secara kontinyu menjadi pemikiran bagi para peneliti, para pengajar, para pengambil keputusan pendidikan, dalam rangka mewujudkan belajar dan pembelajaran untuk pemahaman yang lebih optimal. Peran pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan sangat dinantikan secara maksimal, agar terjadi perubahan sistem pendidikan yang dapat mencetak generasi yang unggul dan multiguna.
Untuk meningkatkan pemahaman para pelajar dalam pembelajaran berbasis pengetahuan awal, prakonsepsi, dan miskonsepsi mereka, desain dan evaluasi pembelajaran mengambil peran cukup central. Desain dan evaluasi pembelajaran hendaknya berorientasi pada pengetahuan awal, prakonsepsi dan miskonsepsi para pebelajar. Secara prinsip, materi-materi pembelajaran tradisional harus menjalani revisi mendasar. Bantuan-bantuan mengajar, seperti buku teks, harus dievaluasi. Juga harus mencoba menggali kesulitan-kesulitan belajar para pebelajar yang disebabkan oleh pengetahuan awal, prakonsepsi dan miskonsepsi dengan desain materi pembelajaran yang berkaitan secara kontekstual. Pembelajaran hendaknya menerapkan pembelajaran perubahan konseptual, dan kerja laboratorium yang lebih intensif berbasis proyek, pemecahan masalah kolaboratif, dan kinerja kooperatif dalam kelompok-kelompok kecil. Usaha-usaha ini merupakan bagian integral dari sebuah pendekatan konstruktivistik komperhensif dan tidak bertujuan memperbaiki belajar hanya dengan menyediakan sebuah item baru yang tunggal. (Santyasa, 2017)
Berbagai jenis desain pembelajaran baru diciptakan dan diteliti oleh para akademisi pendidikan, yang merupakan percampuran antara beberapa variabel dengan perpaduan antara teori belajar modern dengan model pembelajaran yang dapat berinovasi terhadap pembelajaran. Kurangnya media sosialisasi kepada pihak pengelola sekolah terhadap desain pembelajaran baru tersebut, dan para pengajar juga enggan melakukan inovasi dalam proses pembelajaran dikelas. Munculnya berbagai desain pembelajaran baru mengarahkan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan teknologi pada zaman modern, sehingga banyak dituntut peran teknologi pembelajaran untuk menyempurnakan desain pembelajaran di masing-masing sekolah dan sebagai fasilitator antara desain pembelajaran dengan pengajar. Perubahan desain pembelajaran tersebut diharapkan dapat memperbaiki pengetahuan awal, mengurangi terjadinya miskonsepsi, dan meningkatkan kualitas pembelajaran yang akan berujung pada peningkatan kualitas sumber daya manusia.

2.5 Pembelajaran Konstruktivistik
Ketika seseorang memperoleh pengalaman baru yang tidak sesuai dengan pengalaman yang dimiliki sebelumnya, maka terjadi sebuah konstruksi didalam diri orang tersebut, akan dipilih oleh sifat dasar orang tersebut apakah pengalaman yang baru dapat diterima dan disatukan dengan pengalaman yang lama atau pengalaman yang baru tersebut ditolak oleh orang tersebut. pada saat penggabungan kedua pengalaman tersebut yang dimaksud dengan konstruksi. Menurut Piaget dan Inhelder (dalam Santyasa, 2017:47), pengetahuan tidak datang dari subyek atau obyek, tetapi dari kesatuan keduanya. Interaksi seseorang terhadap obyek baru dan refleksinya terhadap interaksi tersebut, akan mengarahkan dirinya ke perubahan structural dalam cara dia berfikir tentang obyek tersebut. Fasnot (dalam Santyasa, 2017) menyatakan “pembelajaran bukanlah pengumpulan fakta sebanyak-banyaknya, tetapi menginterpretasikan obyek berdasarkan skema yang telah dimiliki atau struktur kognitif yang berbeda”.
Teori konstruktivistik memahami belajar sebagai proses pembentukan (kontruksi) pengetahuan oleh yang belajar itu sendiri. Pengetahuan ada didalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seorang guru kepada orang lain (peserta didik). Dalam Nur dan Yusuf (2016:69), dijelaskan beberapa teori belajar konstruktivistik dijelaskan oleh Galserfeld, Bettencourt (1989) dan Matthews (1994), mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan hasil konstruksi (bentukan) orang itu sendiri. Sementara Piaget (1971), mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalamannya. Proses pembentukan berjalan terus menerus dan setiapkali terjadi rekontruksi karena adanya pemahaman yang baru. Sedikit berbeda dengan para pendahulunya, Lorsbach dan Torbin (1992), mengemukakan bahwa pengetahuan ada dalam diri seseorang yang mengetahui. Pengetahuan tidak bisa dipindahkan begitu saya dari otak seseorang kepada orang lain. Peserta didik sendiri yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan konstruksi yang telah dibangun sebelumnya.
Untuk memahami lebih dalam tentang aliran kontuktivistik ini ada baiknya dikemukakan tentang cirri-ciri belajar berbasis kontruktivistik. Ciri-ciri tersebut pernah dikemukakan oleh Driver dan Oldham (1994) dalam Nur dan Yusuf (2016:70), ciri-ciri yang dimaksud adalah sebagai berikut: (1) Orientasi, yaitu peserta didik diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik dengan member kesempatan melakukan observasi, (2) Elisitasi, yaitu peserta didik mengungkapkan idenya dengan jalan berdiskusi, menulis, membuat poster dan lain-lain, (3) Restrukturisasi ide, yaitu klarifikasi ide dengan orang lain, membangun ide baru, mengevaluasi ide baru, (4) penggunaan ide baru dalam berbagai situasi, yaitu idea tau pengetahuan yang telah terbentuk perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi, dan (5) Review, yaitu dalam mengaplikasikan pengetahuan, gagasan yang ada perlu direvisi dengan menambahkan atau mengubah.
Dalam aliran konstruktivistik pengetahuan dipahami sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru. Pengetahuan bukanlah kemampuan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan. Lalu bagaimana mengkontruksi pengetahuan itu terjadi. Manusia dapat mengetahui sesuatu dengan menggunakan inderanya melalui interaksi dengan objek dan lingkungan, misalnya melihat, mendengar, menjamah, membau atau merasakan. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ditentukan melainkan suatu proses pembentukan.
Van Glaserfeld (dalam Nur dan Yusuf, 2016:70), mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan yaitu: (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan tentang suatu hal, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu daripada yang lain (selective conscience).
Faktor-faktor yang membatasi proses kontruksi pengetahuan adalah sebagai berikut :
1.      Hasil kontruksi yang telah dimiliki seseorang (constructed knowledge): pengalaman yang sudah diabstraksikan, yang telah menjadi konsep dan telah dikontruksikan menjadi pengetahuan, dalam banyak hal membatasi pengertian seseorang tentang hal-hal yang berkaitan dengan konsep tersebut.
2.      Domain pengalaman seseorang (domain of experience): pengalaman akan fenomena baru merupakan unsure penting dalam pengembangan pengetahuan. Kekurangan dalam hal ini akan membatasi pengetahuan.
3.      Jaringan struktur kognitif seseorang (existing cognitive structure): setiap pengetahuan yang baru harus cocok dengan ekologi konseptual (konsep, gambaran, gagasan, teori yang membentuk struktur kognitif yang berhubungan satu sama lain) karena manusia cenderung untuk menjaga stabilitas ekologi sistem tersebut. kecenderungan ini dapat menghambat perkembangan pengetahuan.
Adapun proses belajar kontruktivistik bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri peserta didik, melainkan sebagai pemberian makna oleh peserta didik kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutakiran struktur kognitifnya.
Menurut pandangan kontruktivistik belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh peserta didik. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari, tetapi yang paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar peserta didik itu sendiri, sementara peran guru dalam belajar kontruktivistik membantu agar prosen pengkonstruksian pengetahuan oleh peserta didik berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu peserta didik untuk membantu pengetahuannya sendiri dan dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang peserta didik dalam belajar.
Peranan guru pada pendekatan konstruktivisme ini lebih sebagai mediator dan fasilitator bagi peserta didik, yang meliputi kegiatan: (1) menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan peserta didik bertanggung jawab. Belajar atau berceramah bukanlah tugas utama seorang guru, (2) menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan peserta didik dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasannya, dan guru perlu menyemangatai peserta didik serta menyediakan pengalaman konflik, (3) memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah fikiran peserta didik berjalan atau tidak, dan guru menunjukkan serta mempertanyakan apakah pengetahuan peserta didik dapat diperlukan untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan.
Dalam hal sarana belajar, pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, melalui bahan, media, peralatan, lingkunga , dan fasilitas lainnya yang disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman, sehingga memunculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik.
Pandangan konstruktivistik mengungkapkan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang, mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalaman. Konstruktivitis mengarahkan pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya. Objek dan peristiwa-peristiwa, dimana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual. Beberapa hal penting tentang evaluasi dalam aliran konstruktivistik, adalah: (1) diarahkan pada tugas-tugas autentik, (2) mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berfikir yang lebih tinggi, (3) mengkonstruksi pengalaman peserta didik, dan (4) mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.
Pembelajaran konstruktivistik membantu peserta didik dan mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru, yang selanjutnya akan membentuk struktur kognitif baru. Konstruktivistik lebih luas dan sukar dipahami. Pandangan ini tidak melihat pada apa yang dapat diungkapkan kembali atau diajarkan dengan cara menjawab soal-soal tes (sebagai perilaku imitasi), melainkan pada apa yang dapat dihasilkan peserta didik, didemonstrasikan dan ditunjukkannya. Perbedaan karakteristik antara pembelajaran tradisional (behavioristik) dengan pembelajaran konstruktivistik, adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1 Perbedaan Pembelajaran Tradisional dengan Pembelajaran Konstruktivistik.
PEMBELAJARAN TRADISIONAL
PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK
1.      Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan dengan menekankan pada keterampilan-keterampilan dasar.
1.      Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju bagian-bagian, dan lebih mendekatkan pada konsep-konsep yang lebih luas.
2.      Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada kurikulum yang telah ditetapkan.
2.      Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide peserta didik
3.      Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku teks dan buku kerja.
3.      Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan.
4.      Peserta didik dipandang sebagai “kertas kosong” yang dapat digoresi informasi oleh guru, dan guru pada umumnya menggunakan cara didaktik dalam menyampaikan informasi kepada peserta didik.
4.      Peserta didik dipandang sebagai pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya.
5.      Penilaian hasil belajar atau pengetahuan peserta didik dipandang sebagai bagian dari pembelajaran dan biasanya dilakukan pada akhir pembelajaran dengan cara testing.
5.      Pengukuran proses dan hasil belajar peserta didik terjalin didalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan peserta didik, serta melalui tugas-tugas pekerjaan.
6.      Peserta didik biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa grup proses dalam belajar.
6.      Peserta didik banyak belajar dan bekerja didalam grup proses.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan awal, miskonsepsi dan sumber-sumber miskonsepsi adalah sebagai beriku:
1.      Pengetahuan awal merupakan prakonsepsi yang telah dipahami siswa dari pengalaman atau pengetahuan sebelumnya, dimana prakonsepsi ini dapat berupa hal yang benar dan juga dapat berupa hal yang salah.
2.      Miskonsepsi adalah sebuah kesalahan prakonsepsi pada pengetahuan awal yang didapatkan pada pengetahuan sebelumnya, dimana tingkat miskonsepsi ini akan menentukan, apakah seorang pebelajar dapat menerima pengetahuan yang baru atau sebaliknya akan menolak pengetahuan baru yang didapatkannya.
3.      Sumber-sumber miskonsepsi dapat berasal dari diri siswa maupun dari pengajar itu sendiri, dimana pengajar juga mengalami miskonsepsi dan terjadinya misunderstanding antara pengajar dan pebelajar, serta miskonsepsi juga merupakan sebuah hidden conception, atau pengetahuan yang tidak kentara dan cenderung menjadi disepelekan oleh pengajar.




3.2 Saran-Saran
Beberapa saran yang dapat dikemukakan terkait dengan isi makalah pengetahuan awal, miskonsepsi dan sumber-sumber miskonsepsi adalah:
1.      Setiap guru harus dapat memahami pengetahuan awal, miskonsepsi dan sumber-sumber miskonsepsi, agar guru dapat memposisikan dirinya dengan benar sesuai dengan hakekat pendidikan.
2.      Departemen Pendidikan agar merekrut orang pendidikan yang memahami pengetahuan awal, miskonsepsi dan sumber-sumber miskonsepsi, agar dapat mengarahkan pendidikan dan menyusun sistem pendidikan sesuai dengan hakekatnya.
3.      Bagi para akademisi diharapkan memahami teori pengetahuan awal, miskonsepsi dan sumber-sumber miskonsepsi sebagai sebuah pondasi dalam pengajaran.


 DAFTAR PUSTAKA

Basman, T., Arifin, A. & Muris, M. 2016. The development of discovery-inquiry learning model to reduce the science misconception of junior high school students. International Journal of Enviromental & Science Education. 11 (12):5676-5686. http://www.journalijar.com/uploads/23_IJAR-9727. Diakses 30 September 2016.
Degeng, N.S. 1989. Ilmu pembelajaran : taksonomi variabel. Jakarta. Dirjen Dikti.
Emetembun.  1986. Artikel, Dinas pendidikan dan Kebudayaan. Terdapat pada: http://ainamulyana.blogspot.co.id/2016/06/model-pembelajaran-discovery-learning. html. Diakses 17 desember 2016.
Euwe, V. B. 1991. Miskonsepsi Fisika dan Remidiasi. Salatiga. Universitas Kristen Satya Wacana.
Munandar, A. T., Rita, P., & Khotimah, R. P. 2015. Penerapan pendekatan scientific dengan model discovery learning untuk meningkatkan pemahaman konsep dan partisipasi belajar siswa (PTK pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Masaran semester genap tahun pelajaran 2014/2015. Jurnal Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhamadiah Surakarta. 1-11. Diakses melalui http://www.ums.ac.id. 18 Nopember 2015.
Nur, I., Yusuf, S. 2016. Kompetensi pedagogik untuk peningkatan dan penilaian kinerja guru dalam rangka implementasi kurikulum nasional. Sidoarjo. Genta Group Production
Rusman. 2016. Model model pembelajaran mengembangkan profesionalisme guru. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
Santyasa, I. W. 2017. Pembelajaran inovatif. Singaraja. Undiksha Press.
Simarmata, U. 2008. Penerapan model konstruktivis dalam pembelajaran fisika di SMU dalam upaya menanggulangi miskonsepsi siswa. Jurnal Universitas Negeri Medan, ISSN:1907-7157.
Suparno, P. 2005. Miskonsepsi dan perubahan konsep pendidikan fisika. Jakarta. PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Wartono. 2004. Terintegrasi Sains (buku 4). Materi Pelatihan. Proyek PSPP Depdiknas. Jakarta
Wagiran. 2007. Meningkatkan keaktifan mahasiswa dan reduksi miskonsepsi melalui pendekatan problem based learning. Jurnal Kependidikan I(37). 1-22. Universitas Negeri Yogyakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rangkuman jurnal: Pengaruh model pembelajaran inquiry training dan motivasi terhadap hasil belajar fisika siswa

Dahlia, M. P., Sondang, R. M. 2016. Pengaruh model pembelajaran inquiry training dan motivasi terhadap hasil belajar fisika siswa...