PENGETAHUAN AWAL, MISKONSEPSI,
DAN SUMBER-SUMBER MISKONSEPSI
oleh:
I Putu Arya Suryawan
aryasuryawan.putu@gmail.com
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sekolah sebagai sebuah
lembaga pendidikan merupakan alat pencetak sumber daya manusia yang unggul,
untuk itu di sekolah disajikan berbagai jenis materi yang dapat mengembangkan
daya kognitif siswa untuk mencari jati diri yang sebenarnya. Pengembangan
pendidikan di sekolah dilakukan oleh guru dengan manajemen sekolah yang
mengarahkan peserta didik dalam pembentukan karakter yang sesuai dengan tujuan
pendidikan Nasional. Dalam rangka pembaruan sistem pendidikan nasional telah
ditetapkan visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Visi
pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial
yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia
berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan produktif
menjawab tantangan zaman yang selalu berubah (Rusman, 2016:2).
Terkait dengan visi
tersebut telah ditetapkan serangkaian prinsip penyelenggaraan pendidikan untuk
dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan. Salah satu prinsip
tersebut adalah pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik berlangsung sepanjang hayat. Dalam proses tersebut
diperlukan guru yang memberikan keteladanan, membangun kemauan, serta mengembangkan
potensi dan kretivitas peserta didik. Implikasi dari prinsip ini adalah
pergeseran paradigma proses pendidikan, yaitu dari paradigm pengajaran ke
paradigm pembelajaran. Pembelajaran berarti upaya membelajarkan siswa (Degeng,
1989), yaitu proses interaksi peserta
didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Sesuai dengan amanat
Peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional Pendidikan,
salah satu standar yang harus dikembangkan adalah standar proses. Standar
proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Standar
proses berisi kriteria minimal proses pembelajaran pada satuan pendidikan dasar
dan menengah di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Standar proses ini berlaku untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah pada
jalur formal, baik pada sistem paket maupun pada sistem kredit semester.
Standar proses meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses
pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran
untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
Belajar merupakan
proses perkembangan kearah yang lebih sempurna. Perkembangan tersebut analog
dengan perkembangan tumbuhan. Batang tumbuhan akan tumbuh secara sempurna jika
tidak ada tumbuhan lain yang menghalangi pertumbuhannya, namun jika ada
tumbuhan lain yang menghalangi pertumbuhan tumbuhan tersebut, maka pertumbuhan
batang menjadi tidak sempurna. Tumbuhan yang tumbuh akan menuju kearah sumber
cahaya, dan tumbuhan akan mengarahkan batangnya untuk menuju sumber cahaya
yaitu matahari (Santyasa, 2017:2). Begitu juga dengan proses pendidikan seorang
anak, sebaiknya berkembang sesuai dengan proses dan usianya, namun sebagian
besar orang tua menginginkan kognitif anaknya untuk segera tumbuh tanpa
memperhatikan usianya, keinginan yang seperti itu menjadi faktor penghalang
bagi anak untuk mencapai pertumbuhan kognitif yang optimal dan alamiah.
Setiap individu akan
berbeda dalam cara mereka belajar (proses) dan berbeda pula mengenai apa yang
dipelajari (hasil). (Santyasa, 2017). Pandangan terhadap sebuah proses
pembelajaran anak menjadi perhatian para pakar pendidikan. Dalam perspektif
empiris menekankan bagaimana proses pembelajaran yang menekankan pada
pengalaman yang dialami oleh pebelajar, sedangkan dari perspektif rasionalis
menekankan proses pembelajaran ditekankan pada proses berfikir seorang
pebelajar. Kedua perspektif tersebut merujuk kepada bagaimana seorang pebelajar
dapat melakukan konstruksi pada dirinya sendiri sehingga maksud dari
pengetahuan yang diajarkan dapat diterima.
Paradigma pendidikan
zaman sekarang banyak sekali kita melihat sekolah-sekolah dengan mutu
pendidikan yang sangat rendah. Penilaian tersebut terlihat dari pencapaian
prestasi belajar yang diraih oleh siswa pada suatu sekolah. Siswa yang dapat
meraih nilai yang baik dalam ujian nasional secara tidak langsung akan
mengangkat nama baik sekolah tempat mereka belajar. Sekolah dengan hasil UN
terbaik akan menjadi favorit di masyarakat, dan masyarakat berbondong-bondong
untuk menyekolahkan anak mereka pada sekolah tersebut. disisi lain ada juga
sekolah yang belum mencapai pencapaian yang maksimal pada nilai UN siswa, hal
tersebut karena kurang maksimalnya sistem pendidikan yang diterapkan pada
sekolah tersebut. Menurut Kadim Masykur di Simarmata (2008), konsep kesalahan dalam
bidang Ilmu telah terjadi di mana-mana dan terjadi pada tingkat pendidikan yang
rendah untuk pendidikan tinggi. Rendahnya pemahaman siswa dalam memahami suatu
pelajaran ditunjukkan oleh prestasi belajar siswa yang tidak sesuai dengan
harapan.
Penggunaan metode
ceramah dengan instrument pembelajaran berupa buku dan LKS dirasa kurang
memberi pemahaman bagi siswa, siswa cenderung mengalami kesalahpahaman terhadap
materi yang diajarkan oleh guru. Sebuah konsep yang berbeda disebut sebagai
kesalahpahaman atau konsep palsu (Suparno, 2005). Penggunaan metode ceramah
dalam pelajaran yang termasuk kedalam aliran behavioristik atau aliran
tradisional, dalam era modern ini dipandang kurang efektif, untuk itu perlu
adanya sebuah konstruksi pengetahuan yang lebih baik. Perkembangan aliran
konstruktivistik dalam pembelajaran dirasa lebih evektif, karena dalam
pembelajaran konstruktivistik siswa cenderung lebih santai dan termotivasi
dalam pembelajaran. Dalam Nur dan Yusuf (2016:69), dijelaskan beberapa teori
belajar konstruktivistik dijelaskan oleh Galserfeld, Bettencourt (1989) dan
Matthews (1994), mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang
merupakan hasil konstruksi (bentukan) orang itu sendiri, sementara Piaget
(1971), mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan ciptaan manusia yang
dikonstruksikan dari pengalamannya. Proses pembentukan berjalan terus menerus
dan setiapkali terjadi rekontruksi karena adanya pemahaman yang baru. Maka
siswa yang belajar dengan teori pembelajaran konstruktivistik lebih mudah memahami
pelajaran dibandingkan siswa yang belajar dengan menggunakan teori pembelajaran
behavieristik atau tradisional.
Terjadinya miskonsepsi
pada siswa dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya yaitu kurangnya
penguasaan konsep dasar sebagai sebuah pengetahuan awal. Kemampuan siswa dalam
menangkap sebuah pengetahuan awal saat masih pada usis dini tergantung juga
dari cara guru memperkenalkan sebuah pengetahuan awal tersebut, untuk itu guru
sekolah usia dini harus lebih memperhatikan cara penanaman sebuah konsep awal
kepada siswa agar tidak menjadi sebuah bibit miskonsepsi ketika siswa tersebut
menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Konsepsi adalah representasi
mental mengenai cirri-ciri dunia luar atau domain-domain teoretik. (Santyasa,
2017). Konsepsi merupakan perwujudan dari interpretasi seseorang terhadap suatu
obyek yang diamatinya yang sering bahkan selalu muncul sebelum pembelajaran,
sehingga sering diistilahkan konsepsi pra pembelajaran (preinstruction conception).
Menurut perspektif science dan matematika, istilah
miskonsepsi tidak hanya menempatkan kesalahan konsepsi yang dibentuk oleh
pebelajar selama pembelajaran sebelumnya, tetapi juga kesalahan yang berkaitan
dengan prakonsepsi pada umumnya, sehingga miskonsepsi sering memakai istilah kerangka
kerja alternative (alternative framework). Sebutan kerangka
kerja alternative didasari oleh alasan bahwa prakonsepsi yang dimiliki oleh
prapebelajar dipandang sebagai konsepsi yang benar menurut mereka sendiri yang
mungkin berhasil mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan sering
dibawa dan dipertahankan dalam pebelajaran materi baru. (Santyasa, 2017). Pada
hakekatnya, konsepsi prapembelajaran yaitu struktur kognitif yang telah ada
dikepala pebelajar dan bersifat resistant
(bertahan), sehingga siswa yang mengalami miskonsepsi sulit mengubahnya (fruitful), sedangkan miskonsepsi yang
bersifat dissatisfaction atau dapat
dirubah terjadi pada siswa yang fikirannya tidak seimbang (disequilibrium of mind). Untuk itu, dalam makalah ini akan disajikan
beberapa teori mengenai pengetahuan awal, miskonsepsi, dan sumber-sumber
miskonsepsi, agar dapat dipahami bersama untuk kemajuan pendidikan di
Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari
latar belakang diatas, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebagai
berikut:
1.
Apa sumber-sumber prakonsepsi dan miskonsepsi?.
2.
Bagaimana perspektif teoretik dan
temuan-temuan penelitian?.
3.
Bagaimana konsepsi di luar isi mata
pelajaran dan pola-pola misunderstanding?.
4.
Bagaimanakah orientasi-orientasi
pembelajaran dan disain pembelajaran baru?
5.
Apa itu pembelajaran konstruktivistik?.
1.3 Tujuan
Berdasarkan pada
rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.
Menjelaskan apa sumber-sumber
prakonsepsi dan miskonsepsi?.
2.
Menjelaskan bagaimana perspektif
teoretik dan temuan-temuan penelitian?.
3.
Menjelaskan bagaimana konsepsi di luar
isi mata pelajaran dan pola-pola misunderstanding?.
4.
Menjelaskan bagaimana orientasi-orientasi
pembelajaran dan disain pembelajaran baru?
5.
Menjelaskan apa itu pembelajaran konstruktivistik?.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang
dapat dipetik melalui pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1) Manfaat Teoretis
a) Makalah
ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengambil kebijakan sebagai bahan
pertimbangan dalam pengembangan dunia pendidikan.
b) Sebagai
pengembangan dan rangkuman ilmu yang menjadi sumbangan bagi ilmu pengetahuan,
dan khususnya bagi pendidikan, untuk memperkaya studi tentang pengetahuan awal,
miskonsepsi, dan sumber-sumber miskonsepsi.
c) Sebagai
khasanah pengetahuan bagi pembaca dan bahan referensi bagi disiplin ilmu yang
terkait.
2) Manfaat praktis
a)
Dapat menjadi
acuan bagi guru-guru dalam memahami pendidikan dan pembelajaran.
b)
Manfaat lain
dalam pembuatan makalah ini adalah memberikan pengetahuan kepada mahasiswa
jurusan teknologi pembelajaran mengenai pengetahuan awal,
miskonsepsi, dan sumber-sumber miskonsepsi.
c)
Bagi masyarakat
umum agar memahami pengaruh pengetahuan awal, miskonsepsi, dan
sumber-sumber miskonsepsi terhadap pendidikan siswa.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Sumber-Sumber Prakonsepsi dan Miskonsepsi
Wartono, dkk (2004:10) mengemukakan konsep adalah gagasan
atau abtraksi yang dibentuk untuk menyederhanakan lingkungan. Sedangkan Euwe
van den Berg (1991:8) mengemukakan konsep merupakan abstraksi dari ciri-ciri
sesuatu yang mempermudah komunikasi antara manusia dan yang memungkinkan
manusia berfikir. Konsep dibentuk dengan menggolongkan hasil-hasil pengamatan
dalam suatu kategori tertentu. Konsep disebut abstraksi karena konsep menyatakan
proses penggambaran pada berbagai pengalaman aktual. Konsep tersusun sebagai
penggambaran mental atas pengalaman yang teramati. Konsep tidak hanya diperoleh
dengan hanya pengamatan seperti melihat, mendengar atau merasa. Berbagai
pengamatan harus dilakukan untuk mendapatkan kategori-kategori dan berdasar
kategori inilah konsep dapat dibentuk. Kemampuan untuk membuat kesimpulan,
kategori dan pola dalam bentuk konsep-konsep sangat penting untuk menyimpan
berbagai informasi yang diterima. Jika manusia tidak mampu membentuk konsep
maka akan banyak sekali hal-hal yang manusia harus ingat.
Setiap konsep tidak berdiri sendiri, melainkan setiap konsep
berhubungan dengan konsep-konsep yang lain. Semua konsep bersama membentuk jaringan
pengetahuan dalam otak manusia. Semakin lengkap, terpadu, tepat dan kuat
hubungan antara konsep-konsep dalam otak seseorang, semakin pandai orang itu.
Keahlian seseorang dalam suatu bidang studi tergantung lengkapnya jaringan
konsep di dalam otaknya. Berdasarkan hal tersebut, maka konsep pada manusia
terbentuk pada saat manusia mulai mampu untuk melakukan pengamatan terhadap
lingkungan, kemudian memberikan tanggapan mental berupa informasi yang
tersimpan dalam pemikirannya. Dengan demikian seorang anak sebelum mengikuti
proses pendidikan dasar maka telah ada konsep-konsep terhadap lingkungannya.
Konsep-konsep awal yang dimiliki oleh siswa sebelum pembelajaran disebut
prakonsepsi. Prakonsepsi dipengaruhi oleh pengalaman langsung, pengalaman
berpikir, pengalaman fisik dan emosional melalui proses-proses sosial.
Prakonsepsi yang dibawa oleh anak ke kelas tidaklah sama. Ada prakonsepsi anak
yang memang sudah sesuai dengan kebenaran sains, tetapi ada juga yang tidak
sesuai dengan kebenaran sains yang diajarkan di sekolah. Bagi anak yang sudah mempunyai
prakonsepsi yang sudah sesuai dengan kebenaran sains yang diajarkan di kelas,
maka dia akan merasa mudah menerima pelajaran tersebut tetapi jika sebaliknya maka
dia akan kesulitan belajar.
Dalam hal ini bantuan guru sangat diperlukan untuk mengarahkan
prakonsepsi siswa tersebut. Konsep-konsep awal yang tidak sesuai dengan
kebenaran sains ini disebut miskonsepsi. Konsep awal tersebut didapatkan oleh
peserta didik saat berada di sekolah dasar, sekolah menengah, dari pengalaman
dan pengamatan mereka di masyarakat atau dalam kehidupan sehari-hari. Tidak
jarang bahwa konsep siswa, meskipun tidak cocok dengan konsep ilmiah, dapat
bertahan lama dan sulit diperbaiki atau diubah selama pendidikan formal.
Menurut Suparno (2005:3) hal tersebut disebabkan oleh konsep yang siswa miliki,
meskipun keliru, tetapi dapat menjelaskan beberapa persoalan yang sedang mereka
hadapi dalam kehidupan mereka. Bahkan beberapa anak menggunakan konsep ganda
dalam hal ini, yaitu konsep ilmiah digunakan di sekolah dan konsep sehari-hari
untuk digunakan di masyarakat. Hal ini membuat para ahli baik pendidik maupun
peneliti terlibat dalam membahas bagaimana terjadinya miskonsepsi, bagaimana
miskonsepsi dapat diatasi dan kesulitan apa dalam mengatasinya.
Miskonsepsi atau salah konsep (Suparno, 2005:4) menunjuk
pada suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian
yang diterima para pakar dalam bidang itu. Begitu juga dengan Wartono (2004:25)
mendefinisikan miskonsepsi adalah pemahaman alternatif yang tidak benar secara
ilmiah. Miskonsepsi ini diyakini oleh siswa dan dijadikannya dasar untuk
merespon masalah yang muncul. Dengan demikian miskonsepsi adalah
ketidaksesuaian konsep yang dimiliki oleh siswa dengan konsep para ahli.
Menurut Santyasa (2017), prakonsepsi dapat bersumber dari
beberapa hal sebagai berikut:
1.
Pemakaian
bahasa
Bahasa dikatakan sebagai sumber prakonsepsi pertama, karena
bahasa melibatkan nilai rasa yang sering mengandung banyak penafsiran. Ada
kalanya konten yang dikemas oleh bahasa telah kadaluarsa ditinjau dari sudut
pandang modern yang akhirnya menyebabkan miskonsepsi. Sebagai contoh kalimat
matahari terbit menggiring suatu kesan matahari tersebut berpisah dari langit. Persepsi
ini sungguh bertentangan dengan pandangan ilmiah bahwa bumi yang beredar
mengelilingi matahari. Tetapi karena orang mengamati matahari tinggal bersama
bumi, maka matahari yang dipersepsi bergerak.
2.
Interaksi
dengan lingkungan
Sumber prakonsepsi yang kedua, berasal dari hasil interaksi
dengan lingkungan yang meliputi anggota keluarga, teman dewasa lain, dan
kelompok sebaya. Interaksi yang telah ditunjukkan tersebut membangkitkan
bentuk-bentuk khusus everyday science
atau everyday mathematics yang secara
mutlak kontradiktif terhadap prinsip utama science
dan matematika yang benar. Sebagai contoh miskonsepsi yang disebabkan oleh everyday science dapat dilihat persepsi
para orangtua yang sering menyarankan pada putra atau putrinya yang sedang
demam agar menggunakan baju tebal. Mereka mempersepsikan bahwa semakin tebal
bajunya semakin cepat baju itu
mempengaruhi badan menjadi hangat. Contoh miskonsepsi yang disebabkan oleh everyday mathematics, adalah 2 + 5 = 7
atau 5 = 7 - 2. Persepsi yang miskonsepsi pada persamaan terakhir, bahwa angka
2 pada persamaan pertama dipindahkan ke sebelah kanan dan tandanya berubah,
sehingga terbentuk persamaan kedua. Persepsi yang juga miskonsepsi, bahwa jika
mangkok pertama berisi 2 biji kelereng dan mangkok kedua berisi 5 biji
kelereng, maka pada kasus persamaan pertama mangkok pertama yang dituangkan ke
mangkok kedua, alasannya karena isinya lebih sedikit. hal ini berarti terjadi
miskonsepsi tentang bilangan berjumlah.
3.
Perasaan
sendiri
Prakonsepsi yang ketiga berasal dari perasaan sendiri,
sebagai akibat pengaruh tindakan fisik dalam kehidupan sehari-hari dapat
membentuk perasaan miskonsepsi, misalnya merasakan panas, gerak, gaya, dan
pandangan lainnya yang bertentangan dengan pandangan ilmiah. Sebagai contoh, di
ruang terbuka, banyak pembelajar mempersepsi kayu lebih panas daripada besi,
dan juga dibandingkan dengan kaca, orang yang berada dalam mobil yang sedang
bergerak mempersepsi pohon-pohon di pinggir jalan bergerak, benda diam di
interpretasi karena pada benda itu tidak ada gaya yang bekerja.
4.
Masmedia
(tacit sence)
Sumber yang keempat adalah mass media dalam bentuk tacit knowledge yang berdimensi teknik
atau kognitif. Tacid knowledge adalah
suatu pengetahuan yang telah dimengerti didalam pikiran, tetapi ketika
dikomunikasikan secara tertulis atau secara lisan maknanya berbeda sehingga
bisa menimbulkan miskonsepsi. Miskonsepsi juga bisa bersumber dari instruktur
berupa tacit sense. Tacit sanse adalah sebagian pengetahuan
seolah-olah disembunyikan, sehingga tidak utuh dapat didengar atau dilihat yang
berpotensi menimbulkan miskonsepsi. Miskonsepsi sering pula berasal dari desain
pembelajaran yang mencoba mereduksi konsep-konsep yang bersifat majemuk menjadi
konsep tunggal sebagai contoh konsep kecerdasan bisa di desain hanya kecerdasan
bahasa atau kecerdasan matematika. Desain pembelajaran tersebut berpotensi
menimbulkan miskonsepsi, bahwa manusia hanya memiliki kecerdasan bahasa atau
matematika.
Santyasa (2017) juga menyebutkan, mengenai sumber-sumber
miskonsepsi, terdapat tiga alasan utama yang sering muncul dalam proses
pembelajaran, yaitu:
1.
Penelitian
empiris
Menunjukkan bahwa para pengajar sendiri kadang-kadang
miskonsepsi, karena mereka tidak cukup terlatih dan tidak mampu menunjukkan
pemahaman dan penguasaan materi mata pelajaran mereka.
2.
Terdapat
alasan kurang jelas
Miskonsepsi yang direpresentasikan oleh para pengajar
terdapat alasan yang kurang dipahami oleh siswa.
3.
Kejadian
yang tidak kentara
Dipandang sebagai kejadian yang tidak kentara hidden koncepsion dibandingkan sumber
yang pertama dan yang kedua .
2.2
Perspektif-Perspektif Teoretik dan Temuan-Temuan Penelitian
Penelitian pada kawasan pengetahuan awal, prakonsepsi, dan
miskonsepsi telah dilakukan dengan perspektif-perspektif berbeda. Perspektif-perspektif
tersebut misalnya berasal dari pendidik matematika, pendidik sains kelompok peneliti sains kognitif yang mengikuti teori
teori pemrosesan informasi dan kecerdasan buatan. (Santyasa, 2017). Perspektif-perspektif
tersebut mendasarkan diri pada gagasan Piagetian atau Ausubelian. Disamping
itu, perspektif-perspektif tersebut sering juga berbasis pada faham fenomenologis atau hermeneutic, misalnya interaksionisme simbolik Bauersfeld,
pendekatan fenomenografik Marton, dan pendekatan-pendekatan konstruktivistik
seperti alternatifisme konstruktivistik Kelly, dan sebagainya.
Perspektif yang lebih umum berkembang dalam penelitian Penelitian
tentang pengetahuan awal, pra konsepsi dan miskonsepsi adalah pandangan
konstruktivistik, yang diawali oleh konstruktivistik radikal dari Von Glasersfeld.
Menurut pandangan konstruktivistik, belajar bukan dipandang sebagai proses
transmisi informasi atau pengisian bejana kosong, tetapi lebih sebagai suatu
proses pengkonstruksian secara aktif pada basis konsepsi-konsepsi yang telah
ada, yaitu pengetahuan awal, prakonsepsi, dan miskonsepsi. Kemudian, muncul ide
konstruktivistik sosial yang telah melengkapi perspektif konstruktivistik
radikal dengan menyertakan signifikansi pengkonstruksian aspek sosial dari
suatu pengetahuan dalam proses belajar .
Pengetahuan awal dapat berpengaruh langsung dan tak langsung
terhadap proses pembelajaran. Secara langsung, pengetahuan awal dapat
mempermudah proses pembelajaran dan mengarahkan hasil hasil belajar yang lebih
baik. Secara tidak langsung, pengetahuan awal dapat mengoptimalkan kejelasan
materi materi pelajaran dan meningkatkan efisiensi penggunaan waktu belajar dan
pembelajaran. Penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan awal merupakan suatu
variabel yang memiliki kontribusi cukup signifikan terhadap peningkatan
skor-skor postest (Dochy, 1996, dalam Santyasa, 2017). Skor-skor post test
dapat dijelaskan oleh skor-skor pengetahuan awal sebesar 50%. Hal ini sesuai
dengan temuan Bloom, bahwa korelasi antara skor skor posttest dan pretest
bergerak dari 0,50 hingga 0,90 (Dochy, 1996, dalam Santyasa, 2017).
Pembelajaran dalam kelas yang sesungguhnya yang menggunakan pengetahuan awal
sebagai starting point menunjukkan bahwa variasi hasil belajar dapat dijelaskan
oleh varian pengetahuan awal sebesar 42%. (Dochy, 1996, dalam Santyasa, 2017)
Pengetahuan awal pada kawasan-kawasan khusus dapat
mempengaruhi proses dan hasil belajar secara signifikan. Korelasi antara
pengetahuan awal dan penampilan-penampilan akademik pembelajar adalah
signifikan bahwa dengan skor-skor inteligensi. Penelitian telah menunjukkan bahwa
pra konsepsi dan miskonsepsi secara signifikan pemandu belajar dalam belajar. Pra
konsepsi dan miskonsepsi mempengaruhi usaha para pebelajar merasakan informasi
yang dipresentasikan dalam buku teks dan dalam kelas. Banyak prakonsepsi dan
miskonsepsi begitu resistant untuk berubah. Perubahan prakonsepsi dan
miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah terjadi pada kuantitas yang sangat terbatas,
atau hanya sedikit konsepsi baru terbentuk yang dapat diintegrasikan oleh para
pembelajar ke dalam pengetahuan yang telah dimiliki.
Konsepsi prapembelajaran bagi para pembelajar bukannya
ide-ide “kabur” semata, tetapi konsisten dan sering mengherankan. Penelitian
juga telah menunjukkan hasil-hasil perubahan konsepsi yang diperoleh sangat
terbatas. Dalam sains, para pebelajar sering tidak berpikir konsepsi di
sekolah. Lebih dari itu, dalam kelas-kelas sains para mahasiswa mampu
menerapkan konsep hanya jika konteks suatu tugas atau masalah bersifat
sederhana dan kebetulan sama dengan konteks yang telah dipelajari. Segera
setelah itu, ketika tugas-tugas menjadi sedikit lebih sulit, sebagian besar
pembelajar tanpa mendasarkan diri lebih pada intuisi konsepsi sehari-hari
mereka dibandingkan dengan hasil berpikir konsepsi ilmiah.
Basman, Arifin dan Muris (2016), dalam penelitiannya menyebutkan
bahwa dalam hal alat pembelajaran yang digunakan
di sekolah-sekolah, para peneliti mengamati bahwa perangkat pembelajaran sains
yang digunakan dan Lembar Kerja Siswa masih umum dan tidak secara khusus
dirancang untuk mengurangi terjadinya kesalah pahaman Science. Pembelajaran sains adalah sebuah
domain pada masa eksperimen-eksperimen memainkan peranan utama dalam belajar
dan proses pembelajaran. Hal itu sesuai dengan asumsi para pengajar, bahwa para
pembelajar akan lebih berhasil jika proses belajar dapat dilakukan melalui
pengamatan secara visual. Penelitian menunjukkan bahwa pengamatan para pelajar
tersebut sangat dipengaruhi oleh konsepsi-konsepsi pribadi mereka dan sering
tidak ada pengamatan yang objektif.
Penelitian pembelajaran Sains dengan metode demonstrasi
telah mengungkapkan bahwa metode tersebut tidak terlalu ampuh mengajak para
pembelajar meninggalkan konsepsinya yang tidak ilmiah. Dengan kata lain, masih
banyak para pebelajar mengalami miskonsepsi, walaupun telah diterapkan metode
demonstrasi dalam pembelajaran sains. Di samping itu beberapa penelitian telah
menemukan bahwa strategi counter example
(contoh tandingan) tidak terlalu meyakinkan bagi para pelajar untuk mengalami
perubahan konseptual. Mereka cenderung lebih bertahan pada konsepsi yang paling
kaya ini benar walaupun sesungguhnya miskonsepsi.
Penelitian juga dilakukan oleh Wagiran (2007), tentang
perubahan miskonsepsi pada mata kuliah matematika teknik, dimana terjadi
reduksi miskonsepsi yang sangat signifikan, namun masih juga terdapat siswa
yang mengalami miskonsepsi dalam pembelajaran. Dalam penelitian tersebut,
terjadinya perubahan miskonsepsi tidak dengan mudah dihilangkan pada diri
siswa, dimana pengajar harus menggandeng sebuah model pembelajaran yang khusus,
agar dapat membantu reduksi miskonsepsi yang dimiliki oleh pebelajar. Dalam
berbagai penelitian banyak dipilih model pembelajaran yang cocok untuk dapat
mengatasi miskonsepsi pada pebelajar.
2.3
Konsepsi di Luar Isi Mata Pelajaran dan Pola-Pola Misunderstanding
Prakonsepsi dan miskonsepsi menunjukkan pada item-item
khusus isi mata pelajaran. Pandangan konstruktivistik mengarahkan wawasan bahwa
konsepsi-konsepsi prapembelajaran menentukan proses dan hasil belajar.
Metapengetahuan, yaitu konsepsi alam pengetahuan isi, adalah sebuah isu penting
yang masih sering diabaikan. Dalam IPA dan matematika tanpa misunderstanding dari status
konsepsi-konsepsi ini. Duit (dalam Santyasa, 2017) menyatakan bahwa kebanyakan
para pembelajar dan juga beberapa pengajar adalah realistis naif, mereka
memandang pengetahuan ilmiah sebagai sebuah produksi ulang dari alam dan tidak
sebagai suatu konstruksi manusia yang bersifat tentatif.
Misunderstanding banyak terjadi antara pengajar dan
pebelajar, dimana kurang terbukanya dan transparansi maksud dari pengajar yang
disampaikan dalam kelas, pengajar tidak dengan detail mengungkap sebuah
pengetahuan, sehingga yang diterima oleh pebelajar memiliki maksud yang berbeda
dengan apa yang ingin disampaikan oleh pengajar. Ketidak sepahaman antara
pengajar dan pebelajar tersebut yang akan berdampak miskonsepsi pada pebelajar.
Untuk itu dalam proses pembelajaran, seorang pengajar perlu memahami ilmu
komunikasi yang efektif agar tidak terjadi misunderstanding. Menurut Mc. Crosky
Larson dan Knapp mengatakan bahwa komunikasi yang efektif dapat dicapai dengan
mengutamakan ketepatan (accuracy)
yang sesuai antara komunikator dan komunikan dalam setiap komunikasi.
Komunikasi yang lebih efektif terjadi apabila komunikator dan komunikan
terdapat persamaan dalam pengertian, sikap dan bahasa. (http://i-purnama.blogspot.co.id/2015/06/contoh-makalah-tentang-misunderstanding.html).
Untuk memastikan agar tidak terjadinya misunderstanding, pengajar dapat
memastikan bahwa pebelajar memahami apa yang dimaksudkan oleh pengajar dengan
memberikan respon balik oleh pertanyaan atau perbuatan.
Konsepsi para pengajar mengenai tujuan-tujuan pembelajaran
pada umumnya dan tujuan sebuah peristiwa mengajar pada khususnya sering tidak
sesuai dengan konsepsi para pembelajar. Para pengajar sering memiliki pandangan
jangka panjang, yang melibatkan suatu kejadian tunggal dalam suatu urutan yang
terstrukturisasi dari fenomena-fenomena yang sering berhubungan, sedangkan
berapa pebelajar tanpa kurang memiliki sebuah perspektif jangka panjang seperti
itu. Sebagai sebuah contoh, sebuah eksperimen mungkin dipandang sebagai sebuah
kejadian tunggal yang tidak berkaitan satu sama lain sehingga mungkin akan
mengalami kegagalan dalam mengidentifikasi sebuah kerangka kerja yang tepat
yang dapat membantu penyelidikannya.
Berdasarkan perspektif konstruktivistik, metakognisi adalah
sebuah pisau kunci. Konsepsi proses belajar menentukan bagaimana sesuatu itu
dipikirkan dan dipelajari. Para pengajar dan para pelajar sering memandang
bahwa belajar dan pembelajaran analog dengan pengisian gejala, hanya sebagian
kecil para pengajar dan para pembelajar memiliki pandangan konstruktivistik. Inilah
yang diduga sebagai faktor utama terjadinya misunderstanding dalam belajar dan pembelajaran
konsep.
Perkins dan Simmons (dalam Santyasa, 2017) melihat bahwa
kerangka pemahaman sering bermuara pada miskonsepsi yang sering muncul pada
mata pelajaran Fisika, matematika, biologi, bahasa, dan IPS. Mereka mengklaim
bahwa kerangka-kerangka yang mereka isolasi tersebut juga valid untuk
miskonsepsi pada domain-domain isi yang lain. Perkins dan Simmons membedakan 4
kerangka pemahaman yaitu: (1) kerangka isi, atau aspek-aspek yang biasa mengatribusi
isi mata pelajaran, yaitu fakta, definisi, algoritma, pengetahuan metakognitif
berorientasi isi, (2) kerangka pemecahan masalah, atau domain spesifik dan
strategi strategi pemecahan masalah umum, keyakinan tentang pemecahan masalah,
dan proses-proses autoregulasi untuk menjaga organisasi diri sendiri selama
pemecahan masalah, (3) kerangka epistemik, atau domain domain spesifik,
norma-norma umum dan strategi-strategi yang memperhatikan validasi dan domain, dan
(4) kerangka penyelidikan, atau domain spesifik dan keyakinan umum dan
strategi-strategi kerja untuk memperluas dan menantang pemahaman dalam domain
khusus.
Perkins dan Simmons berargumentasi secara meyakinkan bahwa
kesulitan utama belajar untuk pemahaman merupakan hasil pembelajaran
tradisional pada kerangka Isi. Sementara banyak perhatian diperuntukkan pada
kerangka-kerangka epistemik dan penemuan dalam rangka mengatasi kesulitan
tersebut. Mereka juga mengembangkan ide-ide untuk pendekatan-pendekatan baru
yang berorientasi pada empat kerangka tersebut.
2.4
Orientasi-Orientasi Pembelajaran dan Desain Pembelajaran Baru
Inovasi dalam
pembelajaran sangat penting dilakukan dalam pembelajaran, karena seiring
perkembangan zaman dan teknologi pembelajaran dituntut juga mengalami berbagai
perubahan sesuai dengan kebutuhan pebelajar. Tingkat perkembangan kognitif
siswa menuntut inovasi kea rah orientasi-orientasi pembelajaran yang multi
dimensi. Namun berbagai tantangan yang dihadapi diantaranya pengajar yang belum
siap mengganti sistem pembelajaran yang sesuai, dan tetap menggunakan sistem
pembelajaran yang lama. Konsepsi pembelajaran yang baru dianggap sebagai
penghalang proses pembelajaran, dan cenderung pengajar tidak menggunakan konsep
yang baru. Pembelajaran yang ilmiah tidak dapat dilaksanakan secara menyeluruh
oleh pengajar, hal tersebut diakibatkan kurangnya sumber daya guru yang mumpuni
untuk itu.
Berdasarkan hal tersebut, para pebelajar hendaknya belajar,
bahwa konsepsi alternatif mereka bisa memiliki beranekaragam interpretasi
terhadap situasi sehari-hari, tetapi akan gagal dalam kasus-kasus tertentu ketika
konsepsi ilmiah diperlukan. (Santyasa, 2017). Isu-isu mengenai pengetahuan
awal, prakonsepsi, dan miskonsepsi yang telah berurat berakar secara kuat
hendaknya secara kontinyu menjadi pemikiran bagi para peneliti, para pengajar,
para pengambil keputusan pendidikan, dalam rangka mewujudkan belajar dan
pembelajaran untuk pemahaman yang lebih optimal. Peran pemerintah dalam
meningkatkan mutu pendidikan sangat dinantikan secara maksimal, agar terjadi
perubahan sistem pendidikan yang dapat mencetak generasi yang unggul dan
multiguna.
Untuk meningkatkan pemahaman para pelajar dalam pembelajaran
berbasis pengetahuan awal, prakonsepsi, dan miskonsepsi mereka, desain dan
evaluasi pembelajaran mengambil peran cukup central. Desain dan evaluasi
pembelajaran hendaknya berorientasi pada pengetahuan awal, prakonsepsi dan
miskonsepsi para pebelajar. Secara prinsip, materi-materi pembelajaran
tradisional harus menjalani revisi mendasar. Bantuan-bantuan mengajar, seperti
buku teks, harus dievaluasi. Juga harus mencoba menggali kesulitan-kesulitan
belajar para pebelajar yang disebabkan oleh pengetahuan awal, prakonsepsi dan
miskonsepsi dengan desain materi pembelajaran yang berkaitan secara
kontekstual. Pembelajaran hendaknya menerapkan pembelajaran perubahan konseptual,
dan kerja laboratorium yang lebih intensif berbasis proyek, pemecahan masalah
kolaboratif, dan kinerja kooperatif dalam kelompok-kelompok kecil. Usaha-usaha
ini merupakan bagian integral dari sebuah pendekatan konstruktivistik
komperhensif dan tidak bertujuan memperbaiki belajar hanya dengan menyediakan
sebuah item baru yang tunggal. (Santyasa, 2017)
Berbagai jenis desain pembelajaran baru diciptakan dan
diteliti oleh para akademisi pendidikan, yang merupakan percampuran antara
beberapa variabel dengan perpaduan antara teori belajar modern dengan model
pembelajaran yang dapat berinovasi terhadap pembelajaran. Kurangnya media
sosialisasi kepada pihak pengelola sekolah terhadap desain pembelajaran baru
tersebut, dan para pengajar juga enggan melakukan inovasi dalam proses
pembelajaran dikelas. Munculnya berbagai desain pembelajaran baru mengarahkan
pendidikan yang sesuai dengan perkembangan teknologi pada zaman modern,
sehingga banyak dituntut peran teknologi pembelajaran untuk menyempurnakan
desain pembelajaran di masing-masing sekolah dan sebagai fasilitator antara
desain pembelajaran dengan pengajar. Perubahan desain pembelajaran tersebut
diharapkan dapat memperbaiki pengetahuan awal, mengurangi terjadinya
miskonsepsi, dan meningkatkan kualitas pembelajaran yang akan berujung pada
peningkatan kualitas sumber daya manusia.
2.5
Pembelajaran Konstruktivistik
Ketika seseorang
memperoleh pengalaman baru yang tidak sesuai dengan pengalaman yang dimiliki
sebelumnya, maka terjadi sebuah konstruksi didalam diri orang tersebut, akan
dipilih oleh sifat dasar orang tersebut apakah pengalaman yang baru dapat
diterima dan disatukan dengan pengalaman yang lama atau pengalaman yang baru
tersebut ditolak oleh orang tersebut. pada saat penggabungan kedua pengalaman
tersebut yang dimaksud dengan konstruksi. Menurut Piaget dan Inhelder (dalam
Santyasa, 2017:47), pengetahuan tidak datang dari subyek atau obyek, tetapi
dari kesatuan keduanya. Interaksi seseorang terhadap obyek baru dan refleksinya
terhadap interaksi tersebut, akan mengarahkan dirinya ke perubahan structural
dalam cara dia berfikir tentang obyek tersebut. Fasnot (dalam Santyasa, 2017)
menyatakan “pembelajaran bukanlah pengumpulan fakta sebanyak-banyaknya, tetapi
menginterpretasikan obyek berdasarkan skema yang telah dimiliki atau struktur
kognitif yang berbeda”.
Teori konstruktivistik
memahami belajar sebagai proses pembentukan (kontruksi) pengetahuan oleh yang
belajar itu sendiri. Pengetahuan ada didalam diri seseorang yang sedang
mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seorang
guru kepada orang lain (peserta didik). Dalam Nur dan Yusuf (2016:69),
dijelaskan beberapa teori belajar konstruktivistik dijelaskan oleh Galserfeld,
Bettencourt (1989) dan Matthews (1994), mengemukakan bahwa pengetahuan yang
dimiliki seseorang merupakan hasil konstruksi (bentukan) orang itu sendiri.
Sementara Piaget (1971), mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan ciptaan
manusia yang dikonstruksikan dari pengalamannya. Proses pembentukan berjalan
terus menerus dan setiapkali terjadi rekontruksi karena adanya pemahaman yang
baru. Sedikit berbeda dengan para pendahulunya, Lorsbach dan Torbin (1992),
mengemukakan bahwa pengetahuan ada dalam diri seseorang yang mengetahui.
Pengetahuan tidak bisa dipindahkan begitu saya dari otak seseorang kepada orang
lain. Peserta didik sendiri yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan
dengan konstruksi yang telah dibangun sebelumnya.
Untuk
memahami lebih dalam tentang aliran kontuktivistik ini ada baiknya dikemukakan
tentang cirri-ciri belajar berbasis kontruktivistik. Ciri-ciri tersebut pernah
dikemukakan oleh Driver dan Oldham (1994) dalam Nur dan Yusuf (2016:70),
ciri-ciri yang dimaksud adalah sebagai berikut: (1) Orientasi, yaitu peserta
didik diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu
topik dengan member kesempatan melakukan observasi, (2) Elisitasi, yaitu
peserta didik mengungkapkan idenya dengan jalan berdiskusi, menulis, membuat
poster dan lain-lain, (3) Restrukturisasi ide, yaitu klarifikasi ide dengan
orang lain, membangun ide baru, mengevaluasi ide baru, (4) penggunaan ide baru
dalam berbagai situasi, yaitu idea tau pengetahuan yang telah terbentuk perlu
diaplikasikan pada bermacam-macam situasi, dan (5) Review, yaitu dalam
mengaplikasikan pengetahuan, gagasan yang ada perlu direvisi dengan menambahkan
atau mengubah.
Dalam
aliran konstruktivistik pengetahuan dipahami sebagai suatu pembentukan yang
terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena
adanya pemahaman-pemahaman baru. Pengetahuan bukanlah kemampuan fakta dari
suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif
seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan
bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah
mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan.
Lalu bagaimana mengkontruksi pengetahuan itu terjadi. Manusia dapat mengetahui
sesuatu dengan menggunakan inderanya melalui interaksi dengan objek dan
lingkungan, misalnya melihat, mendengar, menjamah, membau atau merasakan.
Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ditentukan melainkan suatu proses
pembentukan.
Van
Glaserfeld (dalam Nur dan Yusuf, 2016:70), mengemukakan bahwa ada beberapa
kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan yaitu: (1)
kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan
membandingkan dan mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan tentang
suatu hal, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu
daripada yang lain (selective conscience).
Faktor-faktor
yang membatasi proses kontruksi pengetahuan adalah sebagai berikut :
1.
Hasil kontruksi
yang telah dimiliki seseorang (constructed
knowledge): pengalaman yang sudah diabstraksikan, yang telah menjadi konsep
dan telah dikontruksikan menjadi pengetahuan, dalam banyak hal membatasi
pengertian seseorang tentang hal-hal yang berkaitan dengan konsep tersebut.
2.
Domain
pengalaman seseorang (domain of
experience): pengalaman akan fenomena baru merupakan unsure penting dalam
pengembangan pengetahuan. Kekurangan dalam hal ini akan membatasi pengetahuan.
3.
Jaringan
struktur kognitif seseorang (existing
cognitive structure): setiap pengetahuan yang baru harus cocok dengan
ekologi konseptual (konsep, gambaran, gagasan, teori yang membentuk struktur
kognitif yang berhubungan satu sama lain) karena manusia cenderung untuk
menjaga stabilitas ekologi sistem tersebut. kecenderungan ini dapat menghambat
perkembangan pengetahuan.
Adapun
proses belajar kontruktivistik bukan sebagai perolehan informasi yang
berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri peserta didik, melainkan sebagai
pemberian makna oleh peserta didik kepada pengalamannya melalui proses
asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutakiran struktur kognitifnya.
Menurut
pandangan kontruktivistik belajar merupakan suatu proses pembentukan
pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh peserta didik. Ia harus aktif
melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang
hal-hal yang sedang dipelajari, tetapi yang paling menentukan terwujudnya
gejala belajar adalah niat belajar peserta didik itu sendiri, sementara peran
guru dalam belajar kontruktivistik membantu agar prosen pengkonstruksian
pengetahuan oleh peserta didik berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan
pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu peserta didik untuk
membantu pengetahuannya sendiri dan dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran
atau cara pandang peserta didik dalam belajar.
Peranan
guru pada pendekatan konstruktivisme ini lebih sebagai mediator dan fasilitator
bagi peserta didik, yang meliputi kegiatan: (1) menyediakan pengalaman belajar
yang memungkinkan peserta didik bertanggung jawab. Belajar atau berceramah
bukanlah tugas utama seorang guru, (2) menyediakan atau memberikan
kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan peserta didik dan membantu
mereka untuk mengekspresikan gagasannya, dan guru perlu menyemangatai peserta
didik serta menyediakan pengalaman konflik, (3) memonitor, mengevaluasi, dan
menunjukkan apakah fikiran peserta didik berjalan atau tidak, dan guru
menunjukkan serta mempertanyakan apakah pengetahuan peserta didik dapat
diperlukan untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan.
Dalam
hal sarana belajar, pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama
dalam kegiatan belajar adalah aktivitas dalam mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri, melalui bahan, media, peralatan, lingkunga , dan fasilitas lainnya
yang disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. lingkungan belajar sangat
mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi realitas, konstruksi
pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman,
sehingga memunculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar
konstruktivistik.
Pandangan
konstruktivistik mengungkapkan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang,
mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalaman.
Konstruktivitis mengarahkan pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan
dari pengalamannya. Objek dan peristiwa-peristiwa, dimana interpretasi tersebut
terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual. Beberapa hal penting
tentang evaluasi dalam aliran konstruktivistik, adalah: (1) diarahkan pada
tugas-tugas autentik, (2) mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses
berfikir yang lebih tinggi, (3) mengkonstruksi pengalaman peserta didik, dan
(4) mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.
Pembelajaran
konstruktivistik membantu peserta didik dan mentransformasi informasi baru.
Transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru, yang selanjutnya
akan membentuk struktur kognitif baru. Konstruktivistik lebih luas dan sukar
dipahami. Pandangan ini tidak melihat pada apa yang dapat diungkapkan kembali
atau diajarkan dengan cara menjawab soal-soal tes (sebagai perilaku imitasi),
melainkan pada apa yang dapat dihasilkan peserta didik, didemonstrasikan dan
ditunjukkannya. Perbedaan karakteristik antara pembelajaran tradisional
(behavioristik) dengan pembelajaran konstruktivistik, adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1 Perbedaan Pembelajaran Tradisional dengan
Pembelajaran Konstruktivistik.
|
PEMBELAJARAN TRADISIONAL
|
PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK
|
|
1.
Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju
keseluruhan dengan menekankan pada keterampilan-keterampilan dasar.
|
1.
Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan
menuju bagian-bagian, dan lebih mendekatkan pada konsep-konsep yang lebih
luas.
|
|
2.
Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan
pada kurikulum yang telah ditetapkan.
|
2.
Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan
pertanyaan dan ide-ide peserta didik
|
|
3.
Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan
pada buku teks dan buku kerja.
|
3.
Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan
pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan.
|
|
4.
Peserta didik dipandang sebagai “kertas
kosong” yang dapat digoresi informasi oleh guru, dan guru pada umumnya
menggunakan cara didaktik dalam menyampaikan informasi kepada peserta didik.
|
4.
Peserta didik dipandang sebagai pemikir yang
dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya.
|
|
5.
Penilaian hasil belajar atau pengetahuan
peserta didik dipandang sebagai bagian dari pembelajaran dan biasanya
dilakukan pada akhir pembelajaran dengan cara testing.
|
5.
Pengukuran proses dan hasil belajar peserta
didik terjalin didalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru
mengamati hal-hal yang sedang dilakukan peserta didik, serta melalui
tugas-tugas pekerjaan.
|
|
6.
Peserta didik biasanya bekerja
sendiri-sendiri, tanpa grup proses dalam belajar.
|
6.
Peserta didik banyak belajar dan bekerja
didalam grup proses.
|
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan awal, miskonsepsi dan
sumber-sumber miskonsepsi adalah sebagai beriku:
1.
Pengetahuan awal merupakan prakonsepsi yang telah
dipahami siswa dari pengalaman atau pengetahuan sebelumnya, dimana prakonsepsi
ini dapat berupa hal yang benar dan juga dapat berupa hal yang salah.
2.
Miskonsepsi
adalah sebuah kesalahan prakonsepsi pada pengetahuan awal yang didapatkan pada
pengetahuan sebelumnya, dimana tingkat miskonsepsi ini akan menentukan, apakah seorang
pebelajar dapat menerima pengetahuan yang baru atau sebaliknya akan menolak
pengetahuan baru yang didapatkannya.
3.
Sumber-sumber
miskonsepsi dapat berasal dari diri siswa maupun dari pengajar itu sendiri,
dimana pengajar juga mengalami miskonsepsi dan terjadinya misunderstanding
antara pengajar dan pebelajar, serta miskonsepsi juga merupakan sebuah hidden conception, atau pengetahuan yang
tidak kentara dan cenderung menjadi disepelekan oleh pengajar.
3.2
Saran-Saran
Beberapa saran yang
dapat dikemukakan terkait dengan isi makalah pengetahuan awal, miskonsepsi dan
sumber-sumber miskonsepsi adalah:
1. Setiap
guru harus dapat memahami pengetahuan awal, miskonsepsi dan sumber-sumber
miskonsepsi, agar guru dapat memposisikan dirinya dengan benar sesuai dengan
hakekat pendidikan.
2. Departemen
Pendidikan agar merekrut orang pendidikan yang memahami pengetahuan awal,
miskonsepsi dan sumber-sumber miskonsepsi, agar dapat mengarahkan pendidikan
dan menyusun sistem pendidikan sesuai dengan hakekatnya.
3. Bagi
para akademisi diharapkan memahami teori pengetahuan awal, miskonsepsi dan
sumber-sumber miskonsepsi sebagai sebuah pondasi dalam pengajaran.
DAFTAR
PUSTAKA
Basman, T., Arifin, A. & Muris, M. 2016. The
development of discovery-inquiry learning model to reduce the science
misconception of junior high school students. International Journal of Enviromental & Science Education. 11
(12):5676-5686. http://www.journalijar.com/uploads/23_IJAR-9727.
Diakses 30 September 2016.
Degeng, N.S. 1989. Ilmu pembelajaran : taksonomi variabel. Jakarta. Dirjen Dikti.
Emetembun.
1986. Artikel, Dinas pendidikan dan
Kebudayaan. Terdapat pada: http://ainamulyana.blogspot.co.id/2016/06/model-pembelajaran-discovery-learning.
html. Diakses 17 desember 2016.
Euwe, V.
B. 1991. Miskonsepsi Fisika dan Remidiasi.
Salatiga. Universitas Kristen Satya Wacana.
http://i-purnama.blogspot.co.id/2015/06/contoh-makalah-tentang-misunderstanding.html.
Diakses 5 Mei 2017.
Melalui google.com
Munandar,
A. T., Rita, P., & Khotimah, R. P. 2015. Penerapan pendekatan scientific
dengan model discovery learning untuk meningkatkan pemahaman konsep dan
partisipasi belajar siswa (PTK pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Masaran
semester genap tahun pelajaran 2014/2015. Jurnal
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhamadiah Surakarta. 1-11.
Diakses melalui http://www.ums.ac.id. 18 Nopember 2015.
Nur, I., Yusuf, S. 2016. Kompetensi pedagogik untuk peningkatan dan penilaian kinerja guru dalam
rangka implementasi kurikulum nasional. Sidoarjo. Genta Group Production
Rusman. 2016. Model
model pembelajaran mengembangkan profesionalisme guru. Jakarta. PT Raja
Grafindo Persada.
Santyasa, I. W. 2017. Pembelajaran inovatif. Singaraja. Undiksha Press.
Simarmata, U. 2008. Penerapan model konstruktivis dalam pembelajaran fisika di SMU dalam
upaya menanggulangi miskonsepsi siswa. Jurnal Universitas Negeri Medan,
ISSN:1907-7157.
Suparno, P. 2005. Miskonsepsi dan perubahan konsep pendidikan fisika. Jakarta. PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Wartono.
2004. Terintegrasi Sains (buku 4). Materi Pelatihan. Proyek PSPP Depdiknas.
Jakarta
Wagiran.
2007. Meningkatkan keaktifan mahasiswa dan reduksi miskonsepsi melalui
pendekatan problem based learning. Jurnal
Kependidikan I(37). 1-22. Universitas Negeri Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar