HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT, MANUSIA, DAN PENDIDIKAN



HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT, MANUSIA, DAN PENDIDIKAN
Oleh:
I Putu Arya Suryawan
aryasuryawan.putu@gmail.com

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno philos dan sophia. Philos berarti cinta dan sophia berarti kebajikan, kebaikan atau kebenaran, atau bisa juga diartikan cinta atau hikmah (Arifin, 1993:1). Terminologi cinta dalam filsafat bukanlah seperti gambaran orang yang duduk terasing dari alam yang diangankannya. Seorang filsuf bukanlah seorang yang kurang andil secara gigi dalam upaya menemukan berbagai tanda yang mendalam tentang kehidupan manusia. Berangkat dari pengertian sederhana tersebut, maka filsuf adalah orang yang mencintai hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya, dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selain itu, filsuf juga mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berupaya melakukan penafsiran atas pengalaman manusia.
Menurut Hasbullah Bakry (1970:9), Ilmu Filsafat merupakan suatu ilmu yang mempelajari sesuatu secara mendetail, ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikat yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana tentang sikap manusia semestinya ketika telah memperoleh pengetahuan. Di samping itu, ada juga yang mengatakan bahwa filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang dapat dicapai dengan budi pekerti (Salam, 1998:5). Dalam kehidupan modern ini, filsafat bisa diartikan sebagai ilmu yang berupaya memahami semua hal yang muncul di dalam keseluruhan ruang lingkungan pandang dan pengalaman umat manusia (Barnadib, 1994:11). Dengan kata lain berfilsafat adalah suatu upaya untuk menjawab pertanyaan yang timbul dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Menurut Jalaludin dan Usman Said, (1994:11) jawaban yang dimaksud merupakan suatu hasil pemikiran yang sistematis, menyeluruh, dan mendasar. Jawaban seperti itu juga digunakan dalam memecahkan persoalan yang berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan manusia termasuk aspek pendidikan.
Definisi-definisi filsafat tersebut pada prinsipnya menempatkan sesuatu berdasarkan kemampuan nalar manusia. Kebenaran yang dimaksud dalam konteks filsafat adalah kebenaran yang tergantung sepenuhnya pada kemampuan daya nalar manusia. Karena itu, kebenaran menurut Plato dan Aristoteles adalah apabila pernyataan yang dianggap benar itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya (Jujun, 1984:20-21). Dengan demikian kebenaran berfungsi sebagai tolak ukur antara sesuatu peristiwa yang terjadi sebelum dan sesudahnya. Jika cocok dianggap benar dan jika tidak cocok dianggap salah atau tidak diterima sebagai kebenaran. Kebenaran yang demikian agaknya cenderung mengandung pengertian yang relatif, sebab tergantung dari faktor ruang dan waktu. Apa yang dianggap benar oleh masyarakat tertentu, belum tentu dinilai suatu kebenaran oleh masyarakat atau bangsa lain walaupun dalam kurun waktu yang sama. Karenanya wajar apabila pengertian filsafat mengalami perbedaan dalam penafsirannya (Jalaludin & Usman Said, 1994:8).
Perkembangan dan perubahan yang terjadi dari zaman ke zaman memiliki corak dan ciri yang berbeda. Kondisi ini yang cenderung memacu manusia untuk selalu berpikir mencari nilai kebenaran itu. Namun karena ada perbedaan cara pandang dalam penafsiran kebenaran tersebut, maka belum ada kesepakatan mengenai hakikat dan definisi filsafat. Menurut Titus, Smith dan Nolan (Jalaludin & Usman Said, 1994:8), perbedaan definisi ini paling tidak dapat dipengaruhi oleh berbagai kondisi antara lain adat istiadat, kebiasaan dan sejarah. Peran filsafat dalam dunia pendidikan adalah memberi kerangka acuan bidang filsafat pendidikan guna mewujudkan cita-cita pendidikan yang diharapkan oleh suatu masyarakat atau bangsa. Karena itu tak heran bila filsafat pendidikan yang terdapat pada suatu negara dipengaruhi oleh filsafat hidup yang menjadi panutan bangsa di negara tersebut, terkait dengan itu pokok bahasan dalam makalah ini difokuskan pada tujuan masalah pokok yang berkaitan dengan pemikiran filsafat pendidikan yaitu hubungan antara filsafat, manusia, dan pendidikan. Pokok bahasan tersebut diharapkan dapat memberikan suatu pemahaman yang komprehensif mengenai filsafat pendidikan dan dapat membantu para pembaca dan akademisi yang bergerak dalam bidang pendidikan untuk memahami hubungan filsafat pendidikan dengan suatu sistem pendidikan.

1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa teori kebenaran menurut pandangan filsafat dalam bidang ontology, epistemology, dan aksiologi?
2.      Bagaimana pandangan filsafat tentang hakekat manusia?
3.      Bagaimana sistem nilai dalam kehidupan manusia?
4.      Apa pandangan filsafat tentang pendidikan?


1.3  Tujuan
Berdasarkan pada rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui apa teori kebenaran menurut pandangan filsafat dalam bidang ontology, epistemology, dan aksiologi?
2.      Untuk mengetahui bagaimana pandangan filsafat tentang hakekat manusia?
3.      Untuk mengetahui bagaimana sistem nilai dalam kehidupan manusia?
4.      Untuk mengetahui apa pandangan filsafat tentang pendidikan?

1.4  Manfaat
Adapun manfaat yang dapat dipetik melalui pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1)      Manfaat Teoretis
a)      Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengambil kebijakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan dunia pendidikan dan filsafat.
b)      Sebagai pengembangan dan rangkuman ilmu yang menjadi sumbangan bagi ilmu pengetahuan, dan khususnya bagi pendidikan, untuk memperkaya studi tentang filsafat, manusia dan filsafat pendidikan.
c)      Sebagai khasanah pengetahuan bagi pembaca dan bahan referensi bagi disiplin ilmu yang terkait.
2)      Manfaat praktis
a)      Dapat menjadi acuan bagi guru-guru dalam memahami pendidikan dan pembelajaran.
b)      Manfaat lain dalam pembuatan makalah ini adalah memberikan pengetahuan kepada mahasiswa jurusan pendidikan mengenai keterkaitan antara filsafat dengan pendidikan.
c)      Bagi masyarakat umum agar memahami hubungan antara filsafat, manusia dan filsafat pendidikan.

 
BAB II
PEMBAHASAN

Saat ini kita mendengar kata filsafat, konotasi kita akan segera pada sesuatu yang bersifat prinsip atau suatu pandangan hidup yang mengandung nilai-nilai dasar (Zuhairini,1984:3). Pada hakikatnya, semua yang ada di alam ini sejak awal menjadi pemikiran dan teka-teki yang tak habis-habisnya diselidiki. Inilah yang menjadi pondasi timbulnya filsafat. Jadi, filsafat adalah hasil usaha manusia dengan kekuatan akal budinya untuk memahami secara radikal, integral, dan universal tentang hakikat sarwa yang ada Tuhan alam dan manusia, serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari pemahaman tersebut (Anshari,1984:12).
Dengan demikian, jelaslah bahwa hal ini memerlukan perenungan yang mendalam dan mengasah pada usaha akal dan pekerjaan pikiran manusia. Karenanya, filsafatlah yang bertugas untuk mencari jawaban dengan cara ilmiah, obyektif, memberikan pertanggungjawaban dengan berdasarkan pada akal budi manusia. Dengan demikian, filsafat itu timbul dari kodrat manusia. Manusia mempunyai keistimewaan ketimbang makhluk-makhluk yang lain. Manusia diciptakan oleh Tuhan begitu sempurna, yang dengan kesempurnaan itu manusia dapat meningkatkan kehidupannya. Berfikir atau bernalar misalnya, merupakan satu bentuk kegiatan akal manusia melalui pengetahuan yang kita terima melalui panca indra diolah dan ditujukan untuk mencapai suatu kebenaran. Aktivitas berfikir merupakan manifestasi berdialog dengan diri sendiri, mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, menunjukkan alasan-alasan, membuktikan sesuatu, menggolongkan-menggolongkan, membanding-bandingkan, menarik kesimpulan, meneliti suatu jalan pikiran, mencari kausalitasnya, membahas secara realitas dan lain-lain (Salam, 1988:1). Sebagai upaya untuk memahami semua yang timbul dalam keseluruhan lingkup pengalaman manusia, maka berfilsafat memerlukan suatu ilmu dalam mewujudkan pemahaman tersebut.
Berbicara ilmu, maka kita tidak bisa lepas dengan eksistensi pendidikan, eksistensi pendidikan dari yang sifatnya umum sampai ke yang khusus. Hubungan filsafat dan ilmu pendidikan ini tidak hanya insidental, tetapi juga suatu keharusan. John dewey, filsuf Amerika, mengatakan bahwa filsafat itu merupakan teori umum dari pendidikan atau landasan dari sebuah pemikiran mengenai pendidikan. Lebih dari itu, filsafat memang mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan menyelidiki faktor-faktor realita dan pengalaman yang banyak terdapat di lapangan pendidikan .
2.1 Teori Kebenaran Menurut Pandangan Filsafat dalam Bidang Ontologi,
      Epistemologi, dan Aksiologi.
Ada beberapa teori kebenaran menurut pandangan filsafat dalam bidang ontology, epistemology, dan aksiologi.
1.      Ontologi
Ontologi sering diidentikkan dengan metafisika, yang juga disebut sebagai proto filsafat atau filsafat pertama, atau filsafat Ketuhanan yang bahasanya adalah hakikat sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab dan akibat, realita, prima atau Tuhan dengan segala sifatnya, malaikat, relasi atau segala sesuatu yang ada di bumi dengan tenaga-tenaga yang dilangit, wahyu, akhirat, dosa, neraka, pahala, dan surga. Persoalan tentang ontologi ini menjadi pembahasan utama dibidang filsafat, baik filsafat kuno maupun filsafat modern. Ontologi adalah teori dari cabang filsafat yang membahas realitas. Realitas ialah kenyataan yang selanjutnya menjurus pada sesuatu kebenaran. Bedanya, realitas dalam ontologi ini melahirkan pertanyaan-pertanyaan: apakah sesungguhnya hakikat realitas yang ada ini?, apakah realitas yang tampak ini sesuatu realita materi saja?, adakah sesuatu dibalik realita itu?, apakah realita ini terdiri dari satu unsur (monoisme), dua unsur (dualisme) atau serba banyak (pluralisme).
Menurut Bramel, interpretasi tentang suatu realita itu dapat bervariasi. Mengenai bentuk meja misalnya, pasti setiap orang berbeda-beda pendapat. Tetapi jika ditanyakan bahannya, pastilah meja itu substansinya adalah kualitas materi. Inilah yang dimaksud meja itu suatu realita yang konkrit. Jadi, realitas yang dibahas pada ontologi ini dipergunakan untuk membedakan apa yang tampak saja atau nyata. Sebagai contoh, sebuah tongkat yang lurus, menurut perasaan kita masih lurus bila diceburkan ke air, tetapi menurut penglihatan tongkat itu bengkok dan setelah diangkat ternyata tongkatnya itu lurus.
Plato mengatakan jika berada di dalam gua, dunia yang kita lihat dan kita hayati dengan kelima panca indra kita tampaknya cukup nyata. Binatang, tumbuhan, batu, air, ular, bintang dan semua yang ada adalah semata-mata dunia bayangan atau dunia tiruan dari dunia nyata, yang sejati adalah dunia ide murni, yang di balik dunia sekarang, yang kita hayati, dengar, lihat, raba, dan rasakan. Di dalam pendidikan, pandangan ontologi secara praktis akan menjadi masalah yang utama. Sebab, anak bergaul dengan lingkungannya dan mempunyai dorongan yang kuat untuk mengerti sesuatu. Anak-anak, baik di masyarakat maupun di sekolah, selalu menghadapi pada realitas, objek pengalaman, benda mati, benda hidup, dan sebagainya. Membimbing anak untuk memahami realita dunia dan membina kesadaran tentang kebenaran yang berpangkal atas realita ini merupakan tahap pertama sebagai stimulus untuk menyelami kebenaran itu. Dengan sendirinya, potensi berfikir kritis anak-anak untuk mengerti kebenaran itu telah dibina. Disini kewajiban pendidik ialah membina daya pikir yang tinggi dan kritis.
2.      Epistemologi
Istilah epistemologi pertama kali dipakai oleh L. F Ferier pada abad ke-19 di Institute of Metaphysics (1854). Dalam Encyclopedia of Philosophy, epistemologi didefinisikan sebagai cabang filsafat yang bersangkutan dengan filsafat dasar dari ruang lingkup pengetahuan beranggapan dan dasar dasarnya serta realitas umum dari tuntutan pengetahuan sebenarnya. Epistemologi ini adalah nama lain dari logika materi atau logika mayor yang membahas dari isi pikiran manusia, yakni pengetahuan (Dardini, 1986:18). Sementara itu Brameld mendefinisikan epistemologi dengan it is epistimology that gives the teacher the assurance that he is conveying the truth to his student maksudnya, epistomologi memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya.
Epistemologi adalah studi tentang pengetahuan, bagaimana kita mengetahui benda-benda. Untuk lebih jelasnya, ada beberapa contoh pertanyaan yang menggunakan kata tahu dan mengandung pengertian yang berbeda-beda, baik sumbernya maupun validitasnya.
1.      Tentu saja saya tahu ia sakit, karena saya melihatnya.
2.      Percayalah, saya tahu apa yang saya bicarakan.
3.      Kami tahu mobilnya baru, karena baru kemarin kami menaikinya (Hamdani Ali, 1993:50).
3.      Aksiologi
Akhlak adalah suatu bidang yang menyelidiki nilai-nilai. Menurut Brameld, ada tiga bagian yang membedakan di dalam aksiologi. Pertama, moral conduct , tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika. Kedua, esthetic expression, ekspresi keindahan yang melahirkan estetika. Tiga, socio-political life, kehidupan sosial politik. Bidang ini melahirkan ilmu filsafat sosial politik (Muhammad Noor Syam, 1986:34-36). Nilai dari implikasi aksiologi di dalam pendidikan ialah pendidikan menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut di dalam kehidupan manusia dan membinanya di dalam kepribadian anak. Karena untuk mengatakan sesuatu bernilai baik itu bukanlah hal yang mudah. Apalagi menilai secara mendalam dalam arti untuk membina kepribadian ideal. Berikut ini beberapa contoh yang dapat kita pergunakan untuk menilai seseorang itu baik, yaitu: (a) Baik, saya akan selalu baik dan taat kepada Ibu. (b) Nak bukankah ini bacaan yang baik untukmu. (c) Baiklah aku mau Pak, Aku akan mengamalkan ilmu ku.
2.2 Pandangan Filsafat Tentang Hakikat Manusia.
Ilmu yang mempelajari tentang hakikat manusia disebut antropologi filsafat. Dalam hal ini ada empat aliran yang akan dibahas. (1) aliran serba zat, aliran ini mengatakan yang sungguh-sungguh ada itu hanyalah zat atau materi. Alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam. Maka dari itu, manusia adalah zat atau materi (Muhammad Noor Syam, 1991). (2) aliran serba roh. Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ini ialah roh. Hakikat manusia juga adalah roh. Sementara zat adalah manifestasi dari roh. Menurut Fisher, segala sesuatu yang ada selain roh dan hidup itu hanyalah perumpamaan, perubahan atau penjelmaan dari roh (Sidi Gazalba, 1992:288). Dasar pikiran aliran ini ialah bahwa roh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada materi. Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya betapapun kita mencintai seseorang, jika rohnya pisah dari badannya, maka materi atau jasad nya tidak ada artinya lagi. Dengan demikian, aliran ini menganggap roh itu adalah hakikat, sedangkan badan ialah penjelmaan atau bayangan. (3) aliran dualisme. Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua substansi, yaitu jasmani dan rohani. Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi, badan tidak berasal dari roh dan roh tidak berasal dari badan. Perwujudannya manusia tidak serba dua, jasad dan roh. Antara badan dan roh terjadi sebab akibat keduanya saling mempengaruhi. (4) aliran eksistensialisme. Aliran filsafat modern berpandangan bahwa hakikat manusia merupakan eksistensi dari manusia. Hakikat manusia adalah apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Disini, manusia dipandang tidak dari sudut serba Sharp atau terbaru atau dualisme, tetapi dari segi eksistensi manusia di dunia ini.
Filsafat berpandangan bahwa hakikat manusia itu berkaitan antara badan dan roh. Hindu secara tegas mengatakan bahwa badan dan roh adalah substansi alam, sedangkan alam adalah makhluk dan keduanya diciptakan oleh Tuhan. Dalam hal ini, dijelaskan bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan manusia menurut hukum alam materi. Menurut Hindu, manusia terdiri dari substansi materi dari bumi dan roh yang berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, hakikat manusia adalah roh sedangkan jasatnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh roh semata. Tanpa kedua substansi tersebut tidak dapat dikatakan manusia. Terkait dengan hakikat manusia tersebut, Poespoprodjo mengemukakan bahwa. (1) hakikat manusia haruslah diambil secara integral dari seluruh bagiannya, bagian esensial manusia, baik yang metafisis animalitas dan rasionalitas maupun fisik badan dan jiwa. Manusia wajib menguasai hakikatnya yang kompleks dan mengendalikan bagian-bagian tersebut agar bekerja secara harmonis. Karena manusia pada hakikatnya adalah hewan, maka ia harus hidup seperti hewan, yang wajib menjaga badannya dan memenuhi kebutuhannya. Namun, sebagai hewan yang berakal budi, manusia harus hidup seperti makhluk yang berakal budi. (2) hakikat manusia harus diambil dari seluruh nisbahnya, tidak hanya keselarasan batin antara bagian-bagian dan kemampuan-kemampuan yang membuat manusia itu sendiri, tetapi juga keselarasan antara manusia dengan lingkungannya (Poespoprodjo, 1988:5).
Memang keberadaan manusia dimuka bumi adalah sesuatu yang menarik. Selain manusia selalu menjadi pokok permasalahan, ia juga dapat melihat bahwa segala peristiwa dan masalah apapun yang terjadi di dunia ini pada akhirnya berhubungan dengan manusia. Oleh karena itu, dalam usaha mempelajari hakikat manusia diperlukan pemikiran yang filosofis. Karena setiap manusia akan selalu berpikir tentang dirinya sendiri. Meskipun tingkat pemikiran itu selalu mempunyai perbedaan (Nawawi, 1993:65). Hal itu didasarkan pada pemikiran bahwa selain sebagai subjek pendidikan, manusia juga merupakan objek pendidikan itu sendiri. Kedudukan manusia yang paling menarik ialah bahwa manusia itu menyelidiki kedudukannya sendiri dalam lingkungan yang diselidikinya pula (Drijarkara,1986:50). Kadang, hasil penyelidikan mengenai lingkungan yaitu ternyata lebih memuaskan daripada penyelidikan tentang manusia itu sendiri.
Manusia memiliki banyak sifat yang serupa dengan makhluk lain. Meski demikian, ada seperangkat perbedaan antara manusia dengan makhluk lain, yang menganugerahi keunggulan pada manusia (Muthahhari, 1992:62). Kenyataan inilah yang terkadang membuat manusia mempunyai pandangan yang berbeda. Suatu saat manusia akan berfikir bahwa mereka merupakan salah satu anggota margasatwa animal kingdom, disaat lain dia juga akan merasa warga dunia ideal dan nilai (Anshari, 1992:6). Pandangan seperti itulah yang pada akhirnya akan memperlihatkan kebenaran manusia secara utuh bahwa mereka adalah pencari kebenaran.
1.      Pandangan Ilmu Pengetahuan Tentang Manusia.
Hampir semua disiplin ilmu pengetahuan berusaha menyelidiki dan mengerti tentang makhluk hidup yang bernama manusia. Begitu juga pendidikan, secara khusus tujuannya adalah untuk memahami dan mendalami hakikat manusia. Bagi Aristoteles (384-322 SM), manusia adalah hewan berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya dan berbicara berdasarkan akal pikirannya (Zaini dan Ananto, 1984:4). Menurut tinjauan Hindu, manusia adalah pribadi atau individu yang berkeluarga, selalu bersilaturahmi dan mengabdi Tuhan. Manusia juga pemelihara alam sekitar rumah wakil Tuhan diatas muka bumi ini (Muntasir, 1985:5). Manusia dalam pandangan Hindu selalu berkaitan dengan kisah tersendiri, tidak hanya sebagai hewan tingkat tinggi yang berkuku pipih, berjalan dengan dua kaki, dan berbicara. Hindu memandang manusia sebagai makhluk sempurna dibandingkan dengan hewan dan makhluk ciptaan tuhan yang lain, karena itu manusia disuruh menggunakan akalnya dan indranya agar tidak salah memahami mana kebenaran yang sesungguhnya dan mana kebenaran yang dibenarkan, atau dianggap benar (Jalaludin dan Usman Said, 1984:28).
Eksistensi manusia yang padat itulah yang perlu dan seharusnya dimengerti dan dipikirkan. Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk religius, yang dengan pernyataan itu mewajibkan manusia memperlakukan agama sebagai suatu kebenaran yang harus dipatuhi dan diyakini (Muhaimin, 1989:69). Untuk itu, sangat penting membangun manusia yang sanggup melakukan pembangunan duniawi, yang mempunyai arti bagi hidup pribadi di akhirat kelak. Dengan kata lain, usaha pembinaan manusia ideal tersebut merupakan program utama dalam pendidikan modern pada masa masa sekarang ini.
2.      Kepribadian Manusia dan Pendidikan.
Manusia merupakan salah satu makhluk hidup yang sudah ribuan abad lamanya menghuni bumi. Sebelum terjadi proses pendidikan di luar dirinya, pada awalnya manusia cenderung berusaha melakukan pendidikan pada dirinya sendiri, di mana manusia berusaha mengerti dan mencari hakikat kepribadian tentang siapa diri mereka sebenarnya. Dalam ilmu mantiq, manusia disebut sebagai hewan alternatif atau hewan yang berfikir. Berfikir disini maksudnya adalah berkata-kata dan mengeluarkan pendapat serta pikiran (Anshari, 1982:4).
Dalam prosesnya, peran efektif pendidikan terhadap pembinaan kepribadian manusia dipengaruhi oleh lingkungan dan oleh faktor pembawaan manusia sejak lahir. Dalam kaitan ini, perlu ditinjau kembali tentang teori nativisme, empirisme, dan konvergensi. Pada dasarnya tujuan pendidikan secara umum adalah untuk membina kepribadian manusia secara sempurna. Kriteria sempurna ini ditentukan oleh masing-masing pribadi, masyarakat, bangsa, tempat, dan waktu. Pendidikan yang terutama dianggap sebagai transfer kebudayaan, pengembangan ilmu pengetahuan akan membawa manusia mengerti dan memahami lebih luas tentang masalah seperti itu. Dengan demikian ilmu pengetahuan memiliki nilai-nilai praktis di dalam kehidupan, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat.
3.      Masalah Rohani dan Jasmani.
Terlalu banyak sebutan yang diberikan untuk makhluk makhluk berakal ciptaan tuhan, seperti homo sapiens, homo rasional, animal sosial, dan lain sebagainya. Bentuk sebutan tersebut mencerminkan keragaman sifat dan sikap manusia. Hal itu dapat terjadi karena di dalam diri manusia itu sendiri Terdapat enam rasa yang menjadi satu yaitu; intelek, Agama, Susila, sosial, seni, dan harga diri atau sifat keakuran (Muhaimin, 1989:63). Maka tidak heran kalau sejak dulu manusia tiada henti-hentinya berusaha membedakan antara unsur manusia yang bersifat lahiriyah dan duniawiyah. Kebanyakan ahli filsafat Yunani berpendapat bahwa roh itu merupakan satu unsur yang halus yang dapat meninggalkan badan. Jika pergi dari badan, dia kembali ke alamnya yang tinggi, meluncur ke angkasa luar dan tidak mati, sebagaimana ungkapan Pythagoras kepada Diasgenes (Umar, 1984:223). Hindu berpandangan bahwa hakikat manusia merupakan perakitan antara badan dan roh. Hindu mengatakan dengan tegas bahwa kedua substansi ini adalah substansi alam (Zuhairini, 1992 75). Hindu memandang permasalahan roh merupakan suatu hal yang terbatas untuk dipelajari secara mendalam. Karena itu, tanda tibanya ilmu yang telah dimiliki, manusia sampai kapanpun tidak akan bisa melebihi Tuhannya (Basalamah, 1993:155).
2.3. Sistem Nilai dalam Kehidupan Manusia.
Sistem merupakan suatu himpunan gagasan atau prinsip-prinsip yang saling bertautan, yang bergabung menjadi suatu keseluruhan. Terkait dengan itu, nilai yang merupakan suatu norma tertentu mengatur ketertiban kehidupan sosial. Karena manusia, sebagai makhluk budaya dan makhluk sosial, selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka manusia dalam proses interaksi nya harus berpedoman pada nilai-nilai kehidupan sosial yang terbina dengan baik dan selaras. Manusia merupakan subjek pendidikan dan sebagai objek pendidikan, karena itu manusia memiliki sikap untuk dididik dan sikap untuk mendidik. Namun demikian berhasil tidaknya usaha tersebut banyak tergantung pada jelas tidaknya tujuan. Karena itu pendidikan di Indonesia mempunyai tujuan pendidikan yang berlandaskan pada filsafat hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila, yang menjadi pokok dalam pendidikan melalui usaha-usaha pendidikan dalam keluarga, masyarakat, sekolah, dan perguruan tinggi.
Manusia merupakan makhluk sosial dan juga makhluk budaya. Sebagai makhluk sosial, tentunya manusia selalu hidup bersama dalam interaksi dan interdependensi dengan sesamanya. Oleh karena itu, manusia tidaklah mungkin dapat memenuhi kebutuhannya tanpa adanya bantuan orang lain. Karena pada dasarnya manusia akan membutuhkan sesuatu dari orang lain, baik itu berupa jasmaniah (segi ekonomis) maupun rohani (segi spiritual). Dan dalam rangka mengembangkan sifat sosialnya tersebut, manusia selalu menghadapi masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan nilai-nilai (Ahmadi, 1990:12). Nilai-nilai itu merupakan faktor internal dengan hubungan antar sosial tersebut, sebagaimana dikatakan Celcius, ubi societas, Ibiius , di mana ada suatu masyarakat di sana pasti ada hukum. Dengan kata lain sebagaimana pandangan aliran progresivisme nilai itu timbul dengan sendirinya, tetapi ada faktor-faktor lain dari masyarakat satu nilai itu timbul (Muhammad Noor Syam, 1986:127).
Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan suatu pengertian bahwa nilai akan selalu muncul apabila manusia mengadakan hubungan sosial atau bermasyarakat dengan manusia lain. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh manusia lain. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh aliran progresivisme bahwa masyarakat menjadi wadah nilai-nilai yang manusia di dalam hubungannya dengan sesama dan dengan alam semesta ini tidak mungkin melakukan sikap yang netral. Karena pada dasarnya manusia itu sudah mempunyai watak manusiawi seperti cinta, benci, simpati, hormat, antipati, dan lain sebagainya. Kecenderungan untuk cinta, benci, simpati dan lainnya itu merupakan suatu sikap. Setiap sikap yang ada adalah konsekuensi dari suatu penilaian, apakah penilaian itu didasarkan atas asas-asas objektif rasional atau subjektif emosional belaka (Imam Barnadib, 1987:3- 32).
1.      Pengertian Nilai.
Secara umum, cakupan pengertian nilai itu tak terbatas. Maksudnya segala sesuatu yang ada dalam alam raya ini bernilai yang dalam filsafat pendidikan dikenal dengan istilah aksiologi. Dalam ensiklopedia Britannica disebutkan bahwa nilai itu merupakan suatu penerapan atau suatu kualitas suatu objek yang menyangkut suatu jenis apresiasi. Perkembangan penyelidikan ilmu pengetahuan tentang nilai menyebabkan beragam pandangan manusia tentang nilai-nilai. Begitu juga sejarah peradaban manusia mengenai masalah nilai, masih merupakan problem, meskipun selama itu pula manusia tetapi tidak dapat mengingkari efektivitas nilai di dalam kehidupannya. Pada kaum penganut sofisme misalnya, dengan tokohnya Phytagoras 481-411 SM, berpendapat bahwa nilai bersifat relatif tergantung pada waktu (Imam Barnadib, 1987:133). Sedangkan menurut idealisme nilai itu bersifat normatif dan objektif serta berlaku umum saat mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Dari beberapa pendapat di atas, dapat diambil suatu pengertian bahwa nilai itu merupakan hasil dari kreativitas manusia dalam rangka melakukan kegiatan sosial, baik itu berupa cinta, simpati, dan lain-lain.
2.      Bentuk dan Tingkat Nilai.
Sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka nilai merupakan sesuatu yang ada hubungannya dengan subjek manusia. Sesuatu yang dianggap bernilai jika pribadi itu merasa sesuatu itu bernilai. Dengan demikian, lepas dari perbedaan nilai baik objektif maupun subjektif, tujuan adanya nilai ialah menuju kebaikan dan keluhuran manusia. Menurut burbecher, nilai itu dibedakan dalam dua bagian yaitu nilai intrinsik dan nilai instrumental. Nilai instrumental adalah nilai yang dianggap baik karena bernilai untuk yang lain. Selanjutnya nilai intrinsik adalah yang dianggap baik, tidak untuk sesuatu yang lain melainkan di dalam dirinya sendiri. Sementara menurut aliran realisme, kualitas nilai tidak dapat ditentukan secara konseptual terlebih dahulu, melainkan tergantung dari apa atau bagaimana keadaannya bila dihayati oleh subjek tertentu dan bagaimana sikap subjek tersebut. Namun ada juga yang membedakan bentuk nilai itu berdasarkan pada bidang apa itu efektif dan berfungsi sebagai nilai moral, nilai ekonomi, dan sebagainya. Adapun tingkat perkembangan nilai menurut Aguste Comte itu terbagi menjadi tiga yaitu tingkat teologis, tingkat metafisik, dan tingkat positif. Tingkat teologis adalah tingkat pertama, selanjutnya tingkat mentafisik dan sebagai tingkat yang paling atas adalah apabila manusia telah menguasai pengetahuan eksakta yang berarti manusia itu telah mencapai tingkat positif  (Muhammad Noo Syam, 1986:132). Pada umumnya masyarakat menganut pendapat bahwa hierarki tingkat-tingkat kebenaran sebab kebenaran ialah nilai itu sendiri.
3.      Nilai-Nilai Pendidikan dan Tujuan Pendidikan.
Menurut Muhammad Noo Syam, pendidikan secara praktis tak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai terutama yang meliputi kualitas kecerdasan, nilai ilmiah, nilai moral dan nilai agama yang kesemuanya tersimpul dalam tujuan pendidikan yakni membina kepribadian ideal. Tujuan pendidikan baik itu pada isinya ataupun rumusannya, tidak akan mungkin dapat kita terapkan tanpa pengertian dan pengetahuan yang tepat tentang nilai-nilai. Membahas tentang nilai-nilai pendidikan, tentu akan lebih jelas kalau dilihat melalui rumusan dan uraian tentang tujuan pendidikan yang tersimpul dalam nilai-nilai pendidikan yang hendak diwujudkan dalam pribadi anak didik. Untuk menetapkan tujuan pendidikan dasar, harus melalui beberapa pendekatan seperti, (1) pendekatan melalui analisis historis lembaga-lembaga sosial, (2) pendekatan melalui analisis ilmiah tentang realita kehidupan aktual, (3) pendekatan melalui nilai-nilai filsafat yang normatif. sedangkan menurut Aristoteles tujuan pendidikan hendaknya dirumuskan sesuai dengan tujuan didirikannya suatu negara (Rapar, 1988:40). Dengan demikian dapat diambil Suatu pengertian bahwa nilai pendidikan bisa dilihat dari tujuan pendidikan yang ada.
Memang keadaan masyarakat dapat diukur melalui pendidikan. Karena itu kebobrokan masyarakat takkan dapat diperbaiki dengan cara apapun kecuali dengan pendidikan begitu kata Plato. Sebagai contoh tujuan pendidikan kita yang tersebut dalam Bab II pasal 4 UU Nomor 2 tentang sistem pendidikan nasional adalah bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (UU Nomor 2/1989). Dari uraian diatas Apa yang ditawarkan oleh beberapa ahli tersebut kiranya dapat terlihat dari tujuan pendidikan terutama di Indonesia.
4.      Etika Jabatan.
Fungsi dan tanggung jawab mendidik dalam masyarakat merupakan kewajiban setiap warga masyarakat. Setiap warga masyarakat sadar akan nilai dan peranan pendidikan bagi generasi muda khususnya anak-anak dalam lingkungan keluarga sendiri. Secara kodrati ataupun namanya tiap orang tua merasa berkepentingan dan berharap supaya anak-anaknya menjadi manusia yang mampu berdiri sendiri. Oleh karena itu kewajiban mendidik ini merupakan panggilan sebagai moral tiap manusia. Yang jelas kaum profesional ialah mereka yang telah menempuh pendidikan relatif cukup lama dan mengalami latihan-latihan khusus. Oleh karena itulah dalam pendidikan seorang guru harus mempunyai asas-asas umum yang universal yang dapat dipandang sebagai prinsip umum seperti; (1) melaksanakan kewajiban dasar atau itikad baik dengan kesadaran pengabdian, (2) memperlakukan siapapun anak didik sebagai satu pribadi yang sama dengan pribadinya sendiri, (3) menghormati perasaan tiap orang, (4) selalu berusaha menyumbangkan ide-ide konsepsi konsepsi dan karya karya ilmiah demi kemajuan bidang kewajibannya, (5) akan menerima haknya semata-mata sebagai satu kehormatan.
2.4 Pandangan Filsafat Tentang Pendidikan.
Sebelum membahas pandangan filsafat tentang pendidikan, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai filsafat pendidikan. Secara sederhana filsafat pendidikan adalah nilai nilai dan keyakinan keyakinan filsafat yang menjiwai, mendasari, dan memberikan identitas karakteristik suatu sistem pendidikan. Filsafat pendidikan adalah jiwa, roh, dan kepribadian sistem pendidikan nasional karenanya sistem pendidikan nasional wajarlah dijiwai, didasari, dan mencerminkan identitas Pancasila, citta dan karsa bangsa kita, atau tujuan nasional dan hasrat luhur rakyat Indonesia yang tersimpul dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai perwujudan jiwa dan nilai yang Pancasila. Dengan begitu sistem pendidikan itu bertumbuh dan dijiwai oleh suatu keyakinan, pandangan hidup dan filosofis tertentu. Inilah dasar pikiran atau rasional mengapa filsafat pendidikan Pancasila merupakan tuntunan nasional atau konsekuensi dari sistem kenegaraan Republik Indonesia.
Filsafat Pancasila merupakan suatu kesatuan bulat dan utuh, atau kesatuan organik yang berlandaskan pada Pancasila. Karena itu filosofi yang dipakai itu harus berusaha memenuhi syarat-syarat berpikir secara kritis, sistematis, menyeluruh, dan mendalam. Karena filsafat itu sebagai ilmu untuk memahami semua hal yang timbul dalam hidup manusia, maka diharapkan manusia dapat mengerti dan mempunyai pandangan menyeluruh dan sistematis mengenai filsafat bahwa manusia itu satu kesatuan dari dunia. Oleh karena itu filsafat sering juga disamakan dengan pandangan dunia adalah suatu konsep yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia, masyarakat umum, nilai dan norma yang mengatur sikap dan perbuatan manusia dalam hubungan dengan dirinya sendiri, sesama manusia, masyarakat, dan alam sekitarnya serta dengan penciptanya. Karena manusia merupakan bagian dari dunia, maka ia akan berusaha untuk lebih memperbaiki dirinya sendiri sehingga dengan perubahan itu manusia menjadi mantap dan stabil dalam berkehidupannya (Moedjanto, 1993:74).
Filsafat menjadikan manusia berkembang dan mempunyai pandangan hidup yang menyeluruh dan sistematis. Pandangan itu kemudian dituangkan dalam sistem pendidikan untuk mengarahkan tujuan pendidikan. Penuangan pemikiran ini dimuat kan dalam bentuk kurikulum. Dengan kurikulum sistem pengajaran dapat terarah, selain dapat mempermudah para pendidik dalam menyusun pengajaran yang akan diberikan kepada peserta didik melalui proses ini manusia menugaskan pikirannya untuk bekerja sesuai dengan aturan dan hukum yang ada, berusaha menyerap semua yang berasal dari alam, baik yang berasal dari dalam dirinya atau dari luar dirinya. Untuk mengembangkan mutu pendidikan, ada lima jalur yang harus diperhatikan (1) landasan filsafat untuk menjadi dasar dalam menyusun paradigma bagi pengembangan ilmu pendidikan. Filsafat yang akan dijadikan dasar pengembangan tersebut haruslah filsafat pendidikan, (2) kita memerlukan paradigma bagi penyusunan metodologi pengembangan ilmu pendidikan. Paradigma yang dimaksud ialah kerangka pikiran yang dapat menentukan kita dalam menyusun metodologi pengembangan ilmu pendidikan. Paradigma inilah yang kelak akan diperkirakan mampu menentukan kita menyusunkan metodologi pengembangan ilmu pendidikan. Ketika kita memerlukan modal penelitian untuk digunakan dalam penelitian pendidikan, (4) memerlukan metodologi pengembangan ilmu pendidikan tersebut. Metodologi ini berupa metode pengembangan teori pendidikan yang diperkirakan dapat mengembangkan teori-teori ilmu pendidikan kita. (5) melakukan suatu organisasi yang berskala nasional. Organisasi itulah yang diharapkan merencanakan, memonitor dan merancang hasil-hasil penelitian untuk disusun secara sistematis dalam batang tubuh ilmu pendidikan. Organisasi itu diharapkan dapat memberikan jalannya dalam upaya mencari biaya bagi pengembangan ilmu pendidikan dapat bersifat universal, yang dapat digunakan dimanapun dan kapanpun (Tafsir, 1995:11).
Pengembangan tersebut dapat kita jadikan sebagai pedoman dalam pengembangan pendidikan untuk masa masa yang akan datang. Dengan demikian, dapat ditentukan bahwa filsafat tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan, sebab filsafat itu merupakan jiwa bagi pendidikan. Dan untuk merealisasikan pandangan filsafat tentang pendidikan, ada beberapa unsur yang dapat dijadikan tonggak untuk pengembangan pendidikan lebih lanjut meliputi (1) dasar dan tujuan pendidikan, (2) pendidikan dan peserta didik, (3) kurikulum, (4) sistem pendidikan.
1.      Dasar dan Tujuan.
Dasar pendidikan merupakan suatu asas untuk mengembangkan bidang pendidikan dan pembinaan kepribadian, karena pendidikan memerlukan landasan kerja untuk memberi arah bagi programnya. Disamping itu, asas tersebut juga bisa berfungsi sebagai sumber peraturan yang akan digunakan sebagai pegangan hidup dan pegangan langkah pelaksanaan. Di Indonesia secara formal pendidikan mempunyai dasar yang kuat yaitu Pancasila. Pancasila merupakan dasar setiap pelaku dan kegiatan bangsa Indonesia. Dasar pokok pendidikan itu menegaskan bahwa pendidikan itu untuk mendidik akhlak dan jiwa, dan juga penanaman nilai-nilai keutamaan dan membiasakan peserta didik dengan kesopanan yang tinggi. Selain itu pendidikan merupakan suatu kegiatan yang sadar akan tujuan. Karena tujuan merupakan salah satu hal penting dalam kegiatan pendidikan, maka tujuan pendidikan tidak saja akan memberikan arah ke mana pendidikan harus ditujukan, tetapi juga memberikan ketentuan yang pasti dalam memilih materi, metode, alat, evaluasi dalam kegiatan yang dilakukan (Suryosubroto, 1990:18).
Secara umum tujuan pendidikan dapat dikatakan membawa anak ke arah tingkat kedewasaan. Artinya membawa anak didik agar dapat mandiri dalam hidupnya di tengah-tengah masyarakat. Sebagai ilustrasi dalam makalah ini akan diuraikan empat macam tujuan pendidikan yang tingkatan dan luasnya berlainan yaitu tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan instruksional, dan tujuan kurikuler.
1.      Tujuan pendidikan nasional yaitu membangun kualitas manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu dapat meningkatkan kebudayaannya sebagai warga negara yang berjiwa Pancasila yang mempunyai semangat dan kesadaran yang tinggi, berbudi pekerti yang luhur dan berkepribadian yang kuat, cerdas, terampil, dapat mengembangkan dan menyuburkan sikap demokrasi dapat memelihara hubungan yang baik antar sesama manusia dan dengan lingkungannya, sehat jasmani, mampu mengembangkan daya estetika, sanggup untuk membangun diri dan masyarakat.
2.      Tujuan institusional yaitu perumusan secara umum pola perilaku dan pola kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu lembaga pendidikan.
3.      Tujuan kurikuler adalah untuk mencapai pola perilaku dan pola kemampuan serta keterampilan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu lembaga yang sebenarnya merupakan tujuan institusional dari lembaga pendidikan. Tujuan kurikuler ini penting untuk menentukan jenis pengetahuan, kemampuan dan keterampilan atau dengan singkat macam pengalaman apa yang akan diberikan kepada siswa.
4.      Tujuan instruksional yaitu rumusan secara terperinci tentang apa saja yang harus dikuasai oleh anak didik sesudah yang melewati kegiatan instruksional yang bersangkutan dengan berhasil (Suryosubroto, 1990:20-21). Tujuan instruksional dibedakan menjadi dua yaitu instruksional khusus dan tujuan instruksional umum. Kedua rumusan ini diarahkan pada anak didik karena didasarkan pada pandangan bahwa kegiatan pendidikan itu ditujukan pada anak, selanjutnya hasil yang sudah dicapai oleh anak didik dalam mengikuti kegiatan instruksional itu haruslah dapat dinilai secara nyata pada tingkah laku anak didik.
Agar hasil keempat tujuan pendidikan di atas dapat diukur secara obyektif, maka rumusan tujuan instruksional harus dibuat secara behavioral. Tujuan instruksional yang konkrit tersebut akan memengaruhi pemilihan metode, bahan pengajar, dan strategi instruksional lainnya, demi mencapai tujuan instruksional yang sudah dirumuskan. Tujuan instruksional misalnya tidak terlepas dari tujuan pendidikan nasional karena tujuan pendidikan nasional itulah yang merupakan sumbernya. Dengan pendidikan kita sadar untuk mengembangkan generasi muda kita ke suatu keadaan yang selaras dengan kebutuhan, atau filsafat bangsa kita. Kita ingin agar anak-anak dididik menjadi orang yang dapat menghayati dan mengamalkan filsafat Pancasila dan berperilaku menurut UUD 1945. Dengan demikian tujuan pendidikan nasional agar mewarnai dan sangat memengaruhi rumusan tujuan pendidikan lainnya. Di samping rumusan tujuan institusional tersebut tujuan kurikuler dan tujuan instruksional juga selalu diwarnai oleh filsafat Pancasila, yang menjadi dasar dan tujuan pendidikan nasional yang harus diresapi dan diamalkan oleh setiap pelaksanaan pendidikan.
Selain diatas tujuan pendidikan juga dapat memengaruhi strategi pemilihan teknik penyajian pendidikan yang dipergunakan untuk memberikan pengalaman belajar kepada anak didik dalam mencapai tujuan pendidikan yang sudah dirumuskan. Sedangkan tujuan pendidikan yang lain adalah perubahan yang diusahakan untuk mencapai tujuan pendidikan baik pada tingkah laku individu maupun pada kehidupan pribadi, kehidupan bermasyarakat, dan kehidupan sosial di tengah-tengah masyarakat. Jadi tujuan pendidikan menurut definisi ini adalah perubahan-perubahan yang diinginkan pada bidang asasi yaitu; (1) tujuan individual yang berkaitan dengan pelajaran, pribadi mereka dan perubahan tingkah laku, aktivitas dan pencapaian yang diinginkan, dan pada persiapan yang diharuskan pada kehidupan mereka. (2) tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat secara keseluruhan, tingkah laku masyarakat umumnya, serta perubahan pertumbuhan, pengayaan pengalaman, dan kemajuan yang diinginkan, (3) tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, seni, profesi, dan sebagai suatu aktivitas di antara aktivitas aktivitas masyarakat (Al-Syaibani, 1979:394). Ketiga tujuan tersebut merupakan suatu keharusan bagi proses pendidikan yang dilakukan secara bersamaan. Jadi dasar dan tujuan pendidikan adalah suatu aktivitas untuk mengembangkan bidang pendidikan menuju terbinanya kepribadian yang tinggi sesuai dengan dasar persiapan pendidikan. Setiap perubahan pendidikan ini merupakan bagian dari suatu proses menuju suatu tujuan yang telah diharapkan dan ditentukan oleh masyarakat.
2.      Pendidik dan Peserta Didik.
Pendidik adalah individu yang mampu melaksanakan tindakan mendidik dalam suatu situasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan (Yusuf, 1982:53). Individu yang mampu itu adalah orang dewasa yang bertanggung jawab, sehat jasmani dan rohani, mampu berdiri sendiri dan mampu menanggung resiko dari segala perbuatannya. Kesediaan dan kerelaan untuk menerima tanggung jawab itulah yang pertama dan utama dituntut dari seorang pendidik di keluarga, ayah dan ibu berfungsi sebagai pendidik, yang bertanggung jawab secara langsung atas masa depan anaknya. Dalam hal ini tanggung jawab orang tua tidak hanya karena mempunyai hubungan darah, tetapi juga sebagai sarana pertama bagi terciptanya anak sebagai makhluk Tuhan. Karena itu orangtua dinamakan pendidik kodrat.
Di sekolah ada guru, di masyarakat ada pemimpin dan anggota lain yang dimaksud dengan pendidik di sini adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial, dan makhluk individu yang mandiri  (Yusuf, 1982:53). Karena orang tua tidak cukup mempunyai kekuatan, kemampuan dan waktu untuk memberikan pendidikan yang diperlukan oleh anaknya, maka mereka menyerahkan sebagian tanggung jawab kepada guru di sekolah, guru agama di bidang pendidikan ketuhanan, pemimpin kepemudaan dan organisasi pemuda, tokoh masyarakat di masyarakat, dan sebagainya. Pendidik bertugas sebagai medium agar anak didik dapat mencapai tujuan pendidikan yang telah dirumuskan. Tanpa pendidik tujuan pendidikan manapun yang telah dirumuskan tidak akan dapat dicapai oleh anak didik. Agar pendidik dapat berfungsi sebagai medium, baik dalam menjalankan tugas kegiatan pendidikan, maka ia harus melaksanakan beberapa peran yang diperlukan sebagai berikut; (1) Ia wajib menemukan pembawaan pada anak didiknya dengan jalan observasi, wawancara, pergaulan, angket, dan sebagainya, (2) Ia wajib berusaha menolong anak didik dalam perkembangannya. Agar pembawaan buruk tidak dapat berkembang dengan subur mendekati kemungkinannya sama dengan menyiapkan lingkungan yang diperlukan. (3) Ia wajib menyajikan jalan yang terbaik dan menunjukkan perkembangan yang tepat. Pendidik adalah orang yang berpengalaman dalam menghadapi liku-likunya jalan dan mengetahui kemungkinan sesatnya jalan yang menimbulkan tidak tercapainya tujuan yang diinginkan, (4) Ia wajib setiap waktu mengadakan evaluasi untuk mengetahui apakah perkembangan anak didik dalam usaha mencapai pendidikan sudah berjalan seperti yang diharapkan, (5) Ia wajib memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada anak didik pada waktu mereka menghadapi kesulitan dengan cara yang sesuai dengan kemampuan anak didik dan tujuan yang akan dicapai. (6) dalam menjalankan tugasnya pendidik wajib selalu ingat bahwa anak sendirilah yang berkembang berdasarkan bakat yang ada padanya. Pendidik tidak dapat mengubahnya, mupun berusaha mengembangkan bakat yang tidak ada pada anak didik. (7) pendidik senantiasa mengadakan penilaian atas diri sendiri untuk mengetahui apakah hal-hal yang tertentu dalam diri pribadinya yang harus mendapatkan perbaikan.
Pendidik perlu memilih metode atau teknik penyajian yang tidak saja disesuaikan dengan bahan atau isi pendidikan yang akan disampaikan, namun disesuaikan dengan kondisi anak didiknya. Karena anak didik ini berbeda-beda sifatnya, maka penggunaan metode penyajian yang hanya menggunakan satu macam, seperti metode ceramah, sudah jelas tidak memadai dan tidak memberikan manfaat banyak dalam mencapai mencapai tujuan pendidikan. Peserta didik adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik ditinjau dari segi fisik maupun dari segi perkembangan mental. Setiap individu memerlukan bantuan dan perkembangan pada tingkat yang sesuai dengan tugas perkembangan setiap anak didik. Dan karena secara kodrati peserta didik itu berbeda, maka pendidikan yang dilakukan harus sesuai dengan perkembangan tiap-tiap peserta didik pada setiap tingkat perkembangan sehingga pendidikan yang diberikan tepat dan berdaya guna. Karena ketepatan memilih metode penyajian merupakan faktor yang sangat menentukan.
Setiap kegiatan sudah pasti memerlukan unsur anak didik sebagai sasaran dari kegiatan tersebut. Yang dimaksud anak didik disini adalah anak yang belum dewasa yang memerlukan bimbingan dan pertolongan dari orang lain yang sudah dewasa dalam melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Tuhan, sebagai warga negara, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai individu. Namun karena setiap peserta didik mempunyai pembawaan dan potensi yang berbeda, pendidik wajib berusaha untuk mengetahui pembawaan masing-masing anak didiknya agar layanan pendidikan yang diberikan sesuai dengan keadaan masing-masing .
3.      Kurikulum.
Tujuan pendidikan yang ingin dicapai merupakan faktor yang menentukan kurikulum dan isi pendidikan yang diberikan. Selain itu, tujuan pendidikan dapat mempengaruhi strategi pemilihan teknik penyajian pendidikan yang dipergunakan untuk memberikan pengalaman belajar pada anak didik dalam mencapai tujuan pendidikan yang sudah dirumuskan. Dengan kurikulum dan isi pendidikan inilah kegiatan pendidikan dapat dilaksanakan secara benar seperti yang telah dirumuskan. Antara tujuan dan program harus ada keserasian. Tujuan yang hendak dicapai itu harus tergambar di dalam program yang tertuang dalam kurikulum, bahkan program itulah yang mencerminkan arah dan tujuan yang ingin dicapai dalam proses pendidikan. Oleh karena itu, kurikulum merupakan faktor yang sangat penting dalam proses pendidikan dalam suatu lembaga kependidikan. Segala hal yang harus diketahui, diresapi, dan dihayati oleh anak didik haruslah diterapkan dalam kurikulum. Dan segala hal yang harus diajarkan oleh pendidik agar anak didiknya pun harus lah dijabarkan dalam kurikulum. Kurikulum tersebut menggambarkan secara jelas bagaimana dan apa saja yang harus dilakukan pendidik dan anak didik dalam proses belajar mengajar. Jadi, kurikulum itu menggambarkan kegiatan belajar mengajar dalam suatu lembaga pendidikan.
Dahulu orang membatasi kurikulum sebagai suatu perangkat berbagai mata pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa. Batasan ini tampak jelas pada kurikulum pendidikan dasar dan menengah 1968. Kini banyak orang yang beranggapan bahwa batasan kurikulum itu tidak memadai lagi dengan perkembangan pendidikan itu sendiri. Dewasa ini, kurikulum dibatasi dalam segala hal yang berhubungan dengan upaya pendidikan dan peserta didik. kurikulum hendaknya mempertimbangkan masalah masalah belajar dan mengajar, kedudukan, dan peranan sekolah di masyarakat, tuntutan masyarakat terhadap sekolah, kebijaksanaan politik dan kemajuan teknologi serta pengetahuan. Jadi kurikulum itu bukan sekedar seperangkat mata pelajaran, melainkan ajang kehendak politik, tuntunan dan aspirasi masyarakat, upaya personal pendidikan untuk disampaikan kepada generasi muda sebagai bekal hidup.
Penjabaran kebijaksanaan pemerintah mengenai cita-cita harapan dan tuntutan masyarakat terhadap pendidikan, pada dasarnya telah ditampung dalam landasan dan program kurikulum yang dapat dilaksanakan di lembaga-lembaga pendidikan. Disini kurikulum pendidikan bukan sekedar dokumen tentang mata pelajaran, melainkan juga mengandung amanat kehendak rakyat yang menentukan keberhasilan pendidikan nasional. Dan tanggung jawab dalam operasional ini terletak dalam tiga komponen penting yaitu guru, kepala sekolah, dan pengawas pendidikan. Kurikulum atau program pendidikan merupakan jalan terdekat untuk sampai pada tujuan tujuan pendidikan. Sebaliknya kantor program pendidikan tanpa kurikulum itu tidak ada proses pendidikan dan pengajaran nya. Dengan kata lain, tidak ada pendidikan tanpa kurikulum. Karena kurikulum adalah bagian yang amat penting dalam lapangan pendidikan.
Pada kesempatan ini, akan dikemukakan beberapa batasan kurikulum dari berbagai ahli berdasarkan rangkuman LG Sailor tahun 1981, antara lain; (1) Menurut Lewis dan Meil, kurikulum adalah seperangkat bahan pelajaran, rumusan hasil belajar, penyediaan kesempatan belajar, kewajiban dan pengalaman peserta didik (Supandi, 1986:52), (2) menurut Taba, kurikulum adalah tak peduli bagaimana rancangan detailnya, terdiri atas unsur-unsur tertentu. Suatu kurikulum biasanya mengandung suatu kenyataan mengenai maksud dan tujuan tertentu. Ia memberi petunjuk tentang beberapa pilihan dan susunan isinya. Ia menyuratkan pola pola belajar dan mengajar tertentu, baik karena dikehendaki oleh tujuannya maupun oleh susunan isinya. Akibatnya ia memerlukan suatu program pengevaluasian hasil-hasilnya (Beeby, 1981;144), (3) menurut Stratemayer Sc, dewasa ini kurikulum dianggap sebagai hal yang meliputi bahan pelajaran dan kegiatan kelas yang dilakukan anak dan pemuda. Keseluruhan pengalaman di dalam dan di luar sekolah atau kelas yang di sponsori oleh sekolah dan seluruh pengalaman hidup murid. Adapun batas yang diterima pendidikan harus menetapkan ke arah ilmu pengetahuan, pengertian-pengertian, kecakapan-kecakapan yang manakah pengalaman-pengalaman yang baru akan dibimbing. Kebijaksanaan ini menentukan scope dari kurikulum sekolah (Muhammad Noor Siam, 1988:74), (4) kurikulum atau program pendidikan adalah jalan terdekat untuk sampai kepada tujuan pendidikan. Menurut Browser, dengan tujuan atau arah proses pendidikan yang ditetapkan, maka langkah selanjutnya sudah jelas, yaitu cara-cara dan alat-alat untuk mencapai tujuan tersebut. Sesuai dengan asal pengertiannya, menurut bahasa Latin, kurikulum ialah suatu landasan terbang, suatu arah yang dilalui orang untuk mencapai tujuan, seperti dalam suatu perlombaan, kurikulum atau kadang-kadang disebut bahan pelajaran. Apapun namanya, namun kurikulum itu menggambarkan landasan di atas, maka murid dan guru berjalan mencapai tujuan dari pendidikan (Muhammad Noor Syam, 1988:75).
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kurikulum merupakan rumusan, tujuan mata pelajaran, garis besar pokok bahasan penilaian dan perangkat lainnya. Sedangkan pokok pikiran penting yang biasa dalam kurikulum adalah tujuan pendidikan, bahan pelajaran, pengalaman dan aspek perencanaan. Kurikulum yang ditetapkan itu harus berorientasi pada tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Hubungan antara tujuan pendidikan dan kurikulum adalah hubungan antara tujuan dan isi pendidikan. Sebagai isi dan jalan untuk mencapai tujuan pendidikan, masalah kurikulum menyangkut masalah masalah nilai, ilmu, teori, skill, praktik, pembinaan mental, dan sebagainya. Ini berarti bahwa kurikulum itu harus mengandung isi pengalaman yang kaya demi realisasi tujuan. Dengan kata lain, kurikulum harus kaya dengan pengalaman-pengalaman yang bersifat membina kepribadian.
Kendati pada dasarnya tujuan pendidikan yang pokok itu tetap, namun ini tak berarti bahwa kurikulum itu harus tetap. Kurikulum Justru harus berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat untuk apa pendidikan itu diselenggarakan. Dengan demikian kurikulum bersifat progresif, berkembang maju, dinamis. Oleh karena itu, kita selalu mengadakan evaluasi kurikulum. Jadi hubungan kurikulum dengan pandangan filsafat terutama tampak pada bentuk-bentuk kurikulum yang dilaksanakan. Satu asas filosofi itu menjadi latar belakang pendidikan itu berupa nilai demokrasi misalnya, maka prinsip kebebasan, prinsip berfikir dan individualistis akan selalu diutamakan. Sedangkan tugas pokok dari filsafat pendidikan adalah memberi arahan dari tujuan pendidikan. Suatu tujuan pendidikan yang hendak dicapai itu haruslah diprogramkan dalam kurikulum. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kurikulum itu tidak hanya menjabarkan serangkaian ilmu pengetahuan yang harus diajarkan oleh pendidik kepada anak didik tetapi juga segala kegiatan yang bersifat kependidikan yang dipandang perlu dan mempunyai pengaruh terhadap anak didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
4.      Sistem Pendidikan.
Pendidikan merupakan usaha yang sengaja dan terencana untuk membantu perkembangan potensi dan  kemampuan anak agar bermanfaat bagi kepentingan hidupnya sebagai seorang individu dan sebagai warga negara atau masyarakat, dengan memilih materi, strategi kegiatan dan teknik penilaian yang sesuai. Dengan kata lain, pendidikan dipandang mempunyai peranan yang besar dalam mencapai keberhasilan dan perkembangan anak. Dalam sejarah pendidikan dapat dijumpai berbagai pandangan atau teori mengenai bagaimana perkembangan manusia itu berlangsung. Beberapa aliran tentang perkembangan manusia dan hasil pendidikan itu adalah sebagai berikut: (1) empirisme, bahwa hasil pendidikan dan perkembangan itu bergantung pada pengalaman pengalaman yang diperoleh anak didik selama hidupnya. Pengalaman itu diperolehnya di luar dirinya berdasarkan perangsang yang tersedia baginya. Tokoh dalam aliran ini adalah John Locke (1632-1704), seorang filsuf bangsa Inggris yang berpendapat bahwa anak yang di dunia ini sebagai kertas kosong atau sebagai meja berlapis lilin yang belum ada tulisan di atasnya, (2) nativisme, ini merupakan teori yang bertolak belakang dengan teori empirisme, yang dianut oleh filsuf Jerman Schopenhauer (1788-1860), yang berpendapat bahwa bayi lahir dengan pembawaannya baik dan pembawaan yang buruk. Dalam hubungannya dengan pendidikan dan perkembangan manusia, ia berpendapat bahwa hasil akhir pendidikan dan perkembangan itu ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperolehnya sejak lahir. Aliran ini berpendapat bahwa pendidikan tidak dapat menghasilkan tujuan yang diharapkan berhubungan dengan perkembangan anak didik. Dengan kata lain, aliran nativisme merupakan aliran pesimisme dalam pendidikan. Berhasil tidaknya perkembangan anak tergantung pada tinggi rendahnya dan jenis pembawaan yang dimiliki oleh anak didik. (3) naturalisme, dikemukakan oleh filsuf Prancis J.J Rousseau (1712-1788). Ia berpendapat bahwa semua anak yang baru lahir mempunyai pembawaan yang baik, tidak seorang anak pun lahir dengan pembawaan buruk. Aliran ini bersifat negatif ismul, dimana pendidik wajib membiarkan pertumbuhan anak didik secara alamiah, (4) konvergensi, dikemukakan oleh seorang pakar pendidikan Jerman William Sterm (1871-1939). Ia berpendapat bahwa (1) anak dilahirkan dengan pembawaan baik maupun buruk. Menurutnya hasil pendidikan itu tergantung dari pembawaan dan lingkungan, seakan-akan seperti dua garis yang menuju suatu titik pertemuan. Teori konvergensi ini berpandangan bahwa satu pendidikan mungkin diberikan, (2) yang membatasi pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan itu sendiri dan (3) pendidikan diartikan sebagai penolong atau pertolongan yang diberikan pada lingkungan anak didik untuk mengembangkan pembawaan yang baik dan mencegah berkembangnya pembawaan yang buruk.
Dari keempat aliran atau teori perkembangan manusia dan teori pendidikan tersebut, bagaimanakah pandangan kita mengenai hal itu, khususnya bila dihubungkan dengan peranan pendidikan dan pembawaan yang telah dimiliki oleh anak sejak lahir. Interaksi antara pembawaan dan lingkungan tersebut akan mencapai hasil yang diharapkan apabila anak sendirilah yang berperan dan berpartisipasi aktif dalam mencernakan segala pengalaman yang diperolehnya. Sederhananya makna pendidikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi bawaan, baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan. Dengan kata lain pendidikan dapat diartikan sebagai suatu hasil peradaban bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa itu sendiri atau nilai dan norma masyarakat yang berfungsi sebagai filsafat pendidikan atau sebagai cita-cita dan tujuan pendidikan (Tjumberansyah, 1994:16).
Menurut Carter V. Good dalam dictionary of Education pendidikan itu mengandung pengertian (1) proses perkembangan kecakapan seseorang dalam bentuk sikap dan perilaku yang berlaku dalam masyarakat. (2) proses sosial dimana seseorang dipengaruhi oleh suatu lingkungan yang terpimpin misalnya sekolah sehingga ia dapat mencapai kecakapan sosial dan mengembangkan pribadinya. Sedangkan menurut Freeman Butt dalam bukunya yang terkenal cultural history western education bahwa (1) pendidikan adalah kegiatan menerima dan memberikan pengetahuan sehingga kebudayaan dapat diteruskan dari generasi ke generasi (2) pendidikan adalah suatu proses, melalui proses ini individu diajarkan kesetiaan dan kesediaan untuk mengikuti aturan. Melalui cara ini pikiran manusia dilatih dan dikembangkan, (3) pendidikan adalah suatu proses pertumbuhan. Dalam proses ini individu dibantu pengembangan Bakat kekuatan kesanggupan dan minatnya.
Dari pandangan filsuf tentang pendidikan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan itu menentukan cara hidup seseorang, karena terjadinya modifikasi dalam pandangan hidup seseorang yang disebabkan oleh terjadinya pengaruh interaksi antara kecerdasan, perhatian dan pengalaman, dan sebagainya yang dinyatakan dalam perilaku, kebiasaan, paham sosial atau Susila. Dengan demikian jelaslah bahwa pendidikan itu merupakan suatu proses penyesuaian diri secara timbal balik memberi dan menerima pengetahuan dan dengan menyesuaikan diri ini secara timbal balik atau  memberi dan menerima pengetahuan dan dengan penyesuaian diri ini akan terjadi perubahan-perubahan pada diri manusia lalu potensi-potensi pembawaannya kekuatan, bagas, kesanggupan, minat tumbuh dan berkembang sehingga terbentuklah berbagai macam abilitas dan kapabilitas.
Berdasarkan beberapa pengertian pendidikan yang telah diuraikan di atas, maka terdapat beberapa ciri umum dalam pendidikan yaitu; (1) pendidikan mengandung tujuan yang ingin dicapai, yaitu individu yang kemampuan dirinya berkembang sehingga bermanfaat untuk kepentingan hidupnya sebagai seorang individu maupun seorang warga negara atau masyarakat. (2) untuk mencapai tujuan tersebut pendidikan perlu melakukan usaha yang sengaja dan terencana untuk memilih isi materi, strategi kegiatan dan teknik penilaian yang sesuai. (3) kegiatan tersebut memberikan pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat berupa pendidikan jalur sekolah atau formal, dan pendidikan jalur luar sekolah atau informal dan nonformal.
Berikut ini akan dikembangkan pengertian filsafat dalam kaitannya dengan pendidikan oleh beberapa para ahli pikir (1) John Dewey memandang pendidikan sebagai suatu proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang menyangkut daya pikir atau intelektual maupun daya perasaan atau emosional, menuju kearah tabiat manusia dan manusia biasa (Muzayyin Arifin, 1994:1). John Dewey, (1957) juga mengatakan bahwa ada hubungan yang erat antara filsafat dan pendidikan. Oleh karena itu, tugas filsafat dan pendidikan adalah seiring, sama-sama menunjukkan hidup manusia. Ali filsafat lebih memerhatikan tugas yang berkaitan dengan strategi pembentukan manusia, sementara ahli pendidikan bertugas untuk lebih memerhatikan pada taktik atau cara agar strategi itu menjadi terwujud dalam kehidupan melalui proses kependidikan. (2) menurut Thompson, filsafat berarti melihat seluruh masalah tanpa ada batas atau implikasinya. Ini berarti bahwa perlu bersikap ragu terhadap sesuatu yang diterima oleh kebanyakan orang sebagai hal yang tak perlu dipermasalahkan dan perlu menangguhkan dalam pemberian penilaian sampai seluruh persoalan di pikirkan masak-masak. Hal ini memerlukan usaha untuk berfikir secara konsisten dalam pribadinya dan tentang hal-hal yang dipikirkannya itu tidak mengenal kompromi. Jadi filsafat di sini sebagai suatu bentuk pemikiran yang konsekuen tanpa kenal kompromi tentang hal-hal yang harus diungkap secara menyeluruh dan bila. (3) menurut Hasan Langgulung filsafat pendidikan adalah (1) filsafat pendidikan adalah penerapan metode dan pandangan filsafat dalam bidang pengalaman manusia yang disebut pendidikan. Filsafat pendidikan adalah mencari konsep-konsep yang dapat menyelaraskan gejala yang berbeda-beda dalam pendidikan dan suatu rencana menyeluruh menjelaskan istilah-istilah pendidikan, mengajukan prinsip-prinsip atau asumsi asumsi dasar tempat tegaknya pernyataan-pernyataan khusus mengenai pendidikan dan menyingkapkan klasifikasi klasifikasi yang menghubungkan pendidikan dan bidang kepribadian manusia. (2) filsafat pendidikan adalah aktivitas pemikiran teratur yang menjadikan filsafat sebagai medianya untuk menyusun proses pendidikan, menyelaraskan, mengharmoniskan, dan menerapkan nilai-nilai dan tujuan tujuan yang ingin dicapai nya. Jadi filsafat, filsafat pendidikan dan pengalaman manusia adalah tiga elemen bagi suatu kesatuan yang utuh. (3) filsafat pendidikan adalah aktivitas yang dikerjakan oleh pendidik dan filsuf-filsuf untuk menjelaskan proses pendidikan, menyelaraskan, mengkritik dan mengubahnya berdasar masalah-masalah kontradiksi budaya. (4) filsafat pendidikan adalah teori atau ideologi pendidikan yang muncul dari sikap filsafat seorang pendidik, dari pengalaman-pengalaman dalam pendidikan dan kehidupan dari kajiannya tentang berbagai ilmu yang berhubungan dengan pendidikan, dan berdasarkan itu pendidikan dapat mengetahui sekolah itu berkembang (Indar, 1994:38-39).
Berdasarkan uraian dari para ahli tentang filsafat pendidikan yang sesuai dengan semangat dan kepentingan terapan serta bimbingan dalam bidang pendidikan, maka filsafat pendidikan merupakan terapan Ilmu Filsafat terhadap problema pendidikan atau filsafat yang diterapkan dalam suatu usaha pemikiran mengenal masalah pendidikan. Jadi filsafat pendidikan adalah sebuah ilmu yang hakekatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan. Dan sebagai ilmu yang merupakan jawaban terhadap problema tersebut dalam lapangan pendidikan, maka filsafat pendidikan dalam kegiatannya itu secara normatif tertumpu dan berfungsi untuk (1) merumuskan dasar dan tujuan pendidikan, konsep hakikat pendidikan dan hakikat manusia, dan isi moral pendidikan. (2) merumuskan teori, bentuk, dan sistem pendidikan berupa moral kepemimpinan, politik pendidikan, pola-pola akulturasi dan peranan pendidikan dalam pembangunan bangsa dan negara. (3) merumuskan hubungan antara agama, filsafat, filsafat pendidikan, teori pendidikan dan kebudayaan. Sedangkan pengertian sistem pendidikan itu adalah sistem yang dijadikan tolak ukur bagi tingkah laku manusia dalam masyarakat yang mengandung potensi mengendalikan, mengatur, dan mengarahkan perkembangan masyarakat dalam lapangan pendidikan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan perlu memberikan jawaban-jawaban yang tepat sehingga kecenderungan dan sikap berpikir masyarakat tidak terombang-ambing tanpa arah yang jelas. Jadi sistem pendidikan itu diperlukan untuk menjawab semua persoalan yang ada, khususnya di bidang pendidikan. Tugas dan fungsi pendidikan itu bersasaran pada manusia yang senantiasa tumbuh dan berkembang mulai dari periode kandungan Ibu sampai dengan meninggal dunia. Dengan kata lain tugas pendidikan adalah membimbing manusia dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan manusia dari tahap ke tahap kehidupan anak didik sampai mencapai kemampuan yang optimal. Sedangkan fungsi pendidikan adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan agar dapat berjalan lancar.
Di Indonesia sistem pendidikan yang paling tua di antara sistem pendidikan yang ada dan masih berkembang sampai sekarang adalah sistem pondok pesantren. Dari perspektif pendidikan modern, sistem ini dianggap unik karena lembaga ini dalam melaksanakan pendidikannya tidak didasarkan pada kurikulum dan tidak terdapat sistem jenjang. Metode yang dipakai lembaga ini juga unik dan tidak didapatkan di sekolah sekolah formal, yaitu metode pengajian baik sorogan maupun weton serta metode mengajar secara verbalistis. Pada hakikatnya di luar dari segi idealitas sosiokultural, sistem pendidikan adalah alat pembudayaan alkulturasi umat manusia yang paling menentukan dan diperlukan di antara keperluan hidupnya walau pendidikan itu timbul dan berkembang dari sumber kultural umat itu sendiri. Sebagai alat tentunya pendidikan merupakan aplikasi dari kebudayaan yang berposisi tidak netral, melainkan selalu bergantung pada siapa dan bertujuan apa pendidikan itu dilaksanakan.
Pendidikan itu tidak cukup kalau kita hanya memiliki badan yang sehat, kuat, dan memiliki kemampuan untuk bekerja secara efektif, efisien, pragmatis, dan rasional. Tetapi kita pun harus mengembangkan pada segi logika, etika, estetika, dan segi keagamaan dari budi kita sehingga kita hidup dijiwai oleh nilai-nilai yang bersumber pada apa yang nyata dan benar dan yang baik, dan susila atau etika, yang indah dan artistik dan bersumber pada sila ketuhanan, dalam gaya dan irama Pancasila. Oleh karena itu pendidikan kita tidaklah lengkap bila hanya bergerak dalam bidang ilmu dan teknik serta bidang pendidikan jasmani. Pendidikan harus bergerak dalam bidang filsafat, budi pekerti dan kesenian. Hakikat pendidikan adalah handayani atau memberi pengaruh. Karena cara pendidikan itu haruslah bersifat tut wuri atau dari belakang, tanpa paksaan melalui perhatian, kesempatan, melalui pengertian dan keyakinan, dengan jalan dialog dan diskusi terbuka, kritis dan objektif ing madya mangun karsa, melalui teladan yang nyata dan jujur ing ngarso sung tuladha. Dalam sistem pendidikan pula kita harus memiliki jiwa yang dewasa, tidak saja mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidup pribadi sekeluarga, tapi juga mampu untuk menghadapi kenyataan hidup secara otonomi dan sukarela, kritis objektif kreatif, rendah hati dan terbuka serta dapat menerima kenyataan secara ikhlas dan penuh rasa tanggung jawab. Untuk selanjutnya manusia yang bermental dewasa mampu untuk konsisten menjadi pengabdi pada apa yang ia yakini benar dan adil. Oleh karena itu pendidikan nasional kita mencintai kita akan terwujudnya manusia dan masyarakat Pancasila yang bertugas mendewasakan mental manusia Pancasila. Bagi Ki Hajar Dewantara manusia yang bermental dewasa adalah manusia yang merdeka lahir dan batin, yaitu manusia yang mampu membina kehidupan pribadi yang selamat dan bahagia dan turut membina kehidupan masyarakat yang tertib dan damai. 
Adapun korelasi antara filsafat pendidikan dan sistem pendidikan itu adalah (1) bahwa sistem pendidikan atau Shine of Education bertugas merumuskan alat-alat, prasarana, pelaksanaan teknik-teknik dan atau pola-pola proses pendidikan dan pengajaran dengan makna akan dicapai dan dibina tujuan tujuan pendidikan. Ini meliputi problematika kepemimpinan dan metode pendidikan, politik pendidikan, sampai pada seni pendidikan the art of Education. (2) isi moral pendidikan atau tujuan intermediet adalah perumusan norma-norma atau nilai spiritual etis yang akan dijadikan sistem nilai pendidikan dan atau merupakan konsepsi dasar nilai moral pendidikan, yang berlaku di segala jenis dan tingkat pendidikan. (3) filsafat pendidikan sebagai suatu lapangan studi bertugas merumuskan secara normatif dasar dan tujuan pendidikan, hakikat dan sifat hakikat manusia, hakikat dan segi-segi pendidikan, isi moral pendidikan, sistem pendidikan yang meliputi politik kependidikan, kepemimpinan pendidikan dan teknologi pengajarannya, pola-pola akulturasi dan peranan pendidikan dalam pembangunan masyarakat. Filsafat pendidikan yang lahir dan menjadi bagian dari rumpun konsep ilmu pendidikan, sebagai ilmu pengetahuan yang normatif, merupakan disiplin ilmu yang merumuskan kaidah-kaidah nilai yang akan dijadikan ukuran tingkah laku manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Sementara ilmu pendidikan merupakan ilmu pengetahuan praktis yang mempunyai maksud bahwa tugas pendidikan, sebagai aspek kebudayaan yang mempunyai tugas, menyalurkan nilai-nilai hidup dan melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai norma tingkah laku kepada subjek . Yang bersumber dari filsafat, kebudayaan, dan agama yang berlaku dalam masyarakat atau negara. Dengan demikian dapat dipahami bahwa filsafat pendidikan merupakan tata pola pikir terhadap permasalahan dibidang pendidikan dan pengajaran yang senantiasa mempunyai hubungan dengan cabang-cabang ilmu pendidikan yang lain yang diperlukan oleh pendidik atau guru sebagai pengajar dalam bidang studi tertentu. Dapat dipahami pula bahwa betapa eratnya hubungan antara filsafat pendidikan dan sistem pendidikan itu.

 BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa  hubungan antara filsafat, manusia dan pendidikan sebagai berikut :
1.      Ada beberapa teori kebenaran menurut pandangan filsafat dalam bidang (1) ontology yaitu teori dari cabang filsafat yang membahas realitas. Realitas ialah kenyataan yang selanjutnya menjurus pada sesuatu kebenaran. (2) epistemology yaitu studi tentang pengetahuan, bagaimana kita mengetahui benda-benda. (3) aksiologi yaitu pendidikan menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut di dalam kehidupan manusia dan membinanya di dalam kepribadian anak. Karena untuk mengatakan sesuatu bernilai baik itu bukanlah hal yang mudah. Apalagi menilai secara mendalam dalam arti untuk membina kepribadian ideal.
2.      Pandangan filsafat tentang hakekat manusia adalah bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ini ialah roh. Hakikat manusia juga adalah roh. Sementara zat adalah manifestasi dari roh. Oleh karena itu, hakikat manusia adalah roh sedangkan jasatnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh roh semata. Tanpa kedua substansi tersebut tidak dapat dikatakan manusia.
3.      Sistem nilai dalam kehidupan manusia berarti bahwa manusia sebagai makhluk budaya dan makhluk sosial, selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka manusia dalam proses interaksi nya harus berpedoman pada nilai-nilai kehidupan sosial yang terbina dengan baik dan selaras.
4.      Pandangan filsafat tentang pendidikan bahwa pendidikan sebagai pembentuk karakter generasi muda bangsa, dan pendidikan adalah sebuah sistem untuk membentuknya.

III.2 Saran
Beberapa saran yang dapat dikemukakan terkait dengan isi makalah hubungan antara filsafat, manusia dan pendidikan adalah :
1.      Setiap guru harus dapat memahami hakekat atau filsafat dari pendidikan, agar guru dapat memposisikan dirinya dengan benar sesuai dengan hakekat pendidikan.
2.      Departemen Pendidikan agar merekrut orang pendidikan yang berlatar belakang filsafat, agar dapat mengarahkan pendidikan dan menyusun sistem pendidikan sesuai dengan hakekatnya.
3.      Bagi para akademisi diharapkan memahami filsafat ilmu sebagai sebuah pondasi dalam pengajaran.


DAFTAR PUSTAKA
Ali, H. 1993. Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung: Sinar Bandung.
Ahmadi, A. 1990. Ilmu Sosial dasar. Jakarta.
Anshari, E.S. 1984. Wawasan Islam. Jakarta: CV Rajawali.
Anshari, H.M. 1982. Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Arifin, H.M. 1993. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teori dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bina Aksara.
Bakry, H. 1992. Sistematika Filsafat. Jakarta: Wijaya.
Barnadib. 1987. Dasar-dasar Pendidikan Perbandingan. Yogyakarta: IKIP.
Barnadib. 1994. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset.
Basalamah, Y.S. 1993. Al-Insan wa al-Ghaib. Terjemahan. Ahmad Rais. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Beeby, C.E. 1981. Pendidikan di Indonesia, Penilaian dan pedoman Perencanaan. Jakarta: LP3S.
Dardini, H.A. 1986. Humaniora, Filsafat dan Logika. Jakarta: CV Rajawali.
Djumberansyah, H.M. 1994. Filsafat Pendidikan. Surabaya: Karya Aditama.
Drijarkara. 1986. Filsafat Manusia. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Gazalba, S. 1992. Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu. Yogyakarta: kanisius.
Indar, D.H.M. 1994. Filsafat Pendidikan. Surabaya: Aditama.
Jalaludin, & Said. U. 1994. Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Pengembangan Pemikirannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Jujun, S. 1984. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Gramedia.
Moedjanto. 1993. Indonesia abad ke 20 jilid I. Yogyakarta: Kanisius.
Muhaimin, M. 1989. Thema-Thema Penting Filsafat Islam. Bandung: Yayasan Muthakhani.
Muthahhari, M. 1992. Filsafat Hikmah Pengantar Pemikiran Shadra. Terjemahan. Bandung: Mizan.
Nawawi, H. 1993. Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas. Jakarta: Gunung Agung.
Poespoprojo, W. 1988. Logika Scientifica: Pengantar Dialekta dan Ilmu. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rapar, J.H. 1988. Filsafat Politik Aristoteles. Jakarta: Rajawali Pers.
Salam. 1998. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bina Aksara.
Supandi. 1986. Pengantar Administrasi pendidikan. Universitas Terbuka.
Suryosubroto. 1990. Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Syam, M.N. 1986. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.
Umar, M.A.C. 1984. Manusia: Siapa, Darimana dan Kemana. Semarang: Toha Putra.
Yusuf, A.M. 1982. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PN Balai Aksara.
Zaini, S & Ananto, K.S. 1986. Ciri Khas Manusia. Jakarta: Kalam Mulia.
Zuhairini. 1984. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rangkuman jurnal: Pengaruh model pembelajaran inquiry training dan motivasi terhadap hasil belajar fisika siswa

Dahlia, M. P., Sondang, R. M. 2016. Pengaruh model pembelajaran inquiry training dan motivasi terhadap hasil belajar fisika siswa...